Tidak terasa, dalam waktu kurang-lebih setahun kedepan, rakyat Indonesia akan mengadakan perhelatan besar, Pemilu Presiden dan Wakilnya pada tahun 2024.
Dalam penerapannya, Pemilu dianggap sebagai perwujudan dari Kedaulatan Rakyat, sarana partisipasi masyarakat, yang memberi peluang memilih pemimpin sesuai dengan "seleranya."
Dalam perhelatan demokrasi tersebut, dilantiklah pemimpin yang menang tanding.
Maka bisa dikatakan, pemimpin yang muncul dari proses ini adalah cerminan dari rakyatnya.
Karena ada kaidah yang berbunyi, "Kalian akan dipimpin orang yang seperti kalian."
Ungkapan diatas sudah ada sejak jaman dahulu, dan menjadi kaidah dalam masalah kerakyatan dan kepemimpinan, baik itu dalam kepemimpinan tradisional maupun moderen, seperti sekarang ini.
Biasanya, sikap golongan pemilih yang mencla-mencle dalam memilih pemimpin, maka hasilnya ya, 'setali tiga uang' alias kurang lebih sama karakter pemimpin dan pemilihnya.
Apalagi kalau pemilihnya berkongsi, dengan tujuan akhir, pokoknya golongannya harus menang, walaupun dengan segala cara.
Maka hasilnya adalah residu auto pemimpin yang tidak berpegang pada nilai-nilai etik, tidak amanah, karena tidak menjunjung standart meritokrasi.
Kandidat yang tujuannya hanya semata mengejar jabatan, dan memimpikan derajat sosial yang tinggi, cenderung hatinya menjadi budak bagi para (donatur) pengusungnya, yang menghantarkannya untuk mencapai keposisi tersebut.
Karena ada 'Bargaining Politik', yang harus dibayar kepada para pengusungnya.