Lihat ke Halaman Asli

Rd. Rizki Luthfiah Aziz

An Observer and Participant of Life

Kok Disuruh Push-up?

Diperbarui: 27 Mei 2020   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.co.uk/ellen goodrich

Jauh sebelum persoalan penyebaran COVID-19 merebak saya sudah sering terganggu dengan fenomena sebagian masyarakat yang dinilai melanggar hukum dikenai sanksi berupa aktivitas fisik melakukan push-up di tempat. Gambaran ini lagi-lagi kita temui beberapa hari lalu ka sebagian orang yang melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperintahkan untuk melakukan push-up di tempat. Ada pertanyaan mendasar yang patut disampaikan kepada para pemberi perintah push-up, apa ada dasar hukumnya? Apa dipayungi UU? Tentu tidak. Oh mungkin ada Perppu-nya? Tidak. Atau paling tidak Pergub? Perwalkot? Perbup? Sejauh yang saya tahu cukup yakin sepertinya tidak.

Berarti apa landasan formil dan moril yang menjadi pembenaran satu pihak merasa (dan juga disepakati) berwenang memerintahkan push-up dan satu pihak lainnya diwajibkan melaksanakan perintah tersebut? Jawabannya satu: hieararki imaginer. Pihak yang memerintahkan push-up diyakini merupakan entitas superior yang pantas memberi perintah.

Saya tidak ada masalah dengan push-up bahkan saya hampir melakukannya tiap hari karena saya adalah penggiat fitness. Ada pihak yang kerap memerintahkan saya push-up dan dengan senang hati saya ikuti arahannya, bahkan saya ikuti dengan riang gembira teknis gerakan hingga yang paling detil, wajar saja, pihak itu adalah personal trainer di gym atau kawan-kawan sesama pecinta olahraga. 

Sama seperti yang dilakukan oleh mereka yang profesinya menuntut ketangkasan fisik,  saya melakukan push-up hanya ketika konteksnya relevan, semata dalam rangka pembinaan fisik untuk mencapai tujuan tertentu terkait jasmani, entah itu untuk mengencangkan otot tricep, membakar lemak tubuh atau menjaga body strength.

Di masa kerja pun saya masih menemui aktivitas push-up massal ketika mengikuti Bela Negara di salah satu Batalyon Infanteri Kostrad di Cilodong, Depok. Tentu tujuannya sesuai dengan konteks kegiatan, yakni dalam rangka pembinaan fisik. Sedangkan para pelanggar PSBB, apa konteksnya mereka dituntut melakukan 'olahraga dadakan' di sisi jalan? Meskipun beribu manfaat kita rasakan dari push-up apa harus dilakukan saat itu di tempat itu?

Konteks lain saya melakukan push-up adalah saat menjalani Ospek mulai dari masuk SMA, kaderisasi ekstrakulikuler dan dialami lagi saat masuk perguruan tinggi. Suasana Ospek konteksnya tidak lagi dalam rangka bina fisik, karena toh saya sekolah di sebuah Universitas, tempatnya adu otak bukan adu otot. Adu otot di kampus dapat dibenarkan bila dilakukan di klub-klub bela diri. Apalagi kalau sampai meraih prestasi di PON, itu malah kebanggaan kampus namanya. 

Lalu mengapa para mas dan mba senior memerintahkan para junior melakukan push-up bila melakukan kesalahan? Ini sama persis seperti yang dilakukan sebagian aparat kepada pelanggar PSBB, yakni akibat hierarki imaginer di antara senior dan junior. Senior yang esensinya adalah mereka yang lebih dulu mendiami suatu wilayah kerap disepakati memiliki kasta lebih tinggi dari para junior yang merupakan pendatang baru. 

Hal yang sama terjadi di antara para hewan. Setiap saya membawa kucing baru di rumah, kucing-kucing lama saya pasti bertengkar dengannya hingga beberapa hari. Sekalipun sudah berdamai saya perhatikan kucing baru saya rasanya selalu sungkan setiap kali tatap muka dengan seniornya.

Esensi yang sama telrihat dari fenomena aparat memerintahkan push-up, sepertinya ada perasaan diri lebih superior di pihak aparat sehingga merasa berhak memerintahkan sanksi alternatif yang dirasa perlu. Padahal setiap aparat yang bertugas tidak hadir mewakili namanya pribadi melainkan sebagai sebagai representasi negara.

Di sisi lain masyarakatnya juga melanggengkan fenomena ini karena tidak sudi mengukuti peraturan yang sebenarnya, setau saya untuk pelanggar PSBB seharusnya sanksinya adalah denda sekian rupiah. Maka untuk menghindari pengeluaran yang sangat memberatkan sebagian orang rela menurunkan martabatnya dengan 'mangut' diperintah push-up. 

Tapi ketidakkonsistenan terlihat ketika yang melakukan pelanggaran adalah restoran cepat saji yang adalah cabang dari perusahaan multinasional raksasa. Mereka justru dikenai sanksi yang sesungguhnya berupa denda. Mungkin karena restoran tersebut dirasa mampu membayar denda maka suasana hubungan antara aparat dengan restoran itu malah mendadak jadi profesional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline