Baru saja penulis melihat bahwa sedang dilaksanakan suatu diskusi akademis terkait isu imigran gelap yang ada di Indonesia. Berhubung diskusi diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, maka tak heran nuansa pendekatan sekuritisasi begitu kental terasa selama pembahasan isu.
Secara keilmuan, sekuritisasi sendiri merupakan suatu kajian yang termasuk juga pada ranah Studi Hubungan Internasional, yang mana pemahaman sederhananya dapat dimaknai sebagai proses transformasi suatu isu non-keamanan menjadi isu keamanan. Sekuritisasi tentunya umum dilakukan oleh pemerintah dari negara berdaulat sebab pemerintah memiliki kapabilitas yang mapan dalam memengaruhi banyak orang dalam hal membentuk persepsi atas suatu isu.
Di sisi lain, pendefinisian ancaman keamanan itu sendiri mengalami perubahan dari yang semula hanya berorientasi pada ancaman tradisional berupa konflik bersenjata kemudian kini berkembang pada apa yang dikenal sebagai Keamanan Manusia (Human Security) yang di dalamnya termasuk beberapa faktor yang memengaruhi keberlangsungan hidup manusia.
Contoh sederhana namun konkret dari bentuk sekuritisasi yang baru beberapa masa lalu terjadi di Indonesia ialah kasus wabah difteri yang telah menelan banyak korban jiwa. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan status "Kejadian Luar Biasa" atas penyebaran penyakit difteri, konsekuensinya pemerintah segera menghimbau agar seluruh daerah melakukan antisipasi dan penanggulangan penyebaran difteri. Meski tidak dinyatakan secara langsung namun penetapan status KLB merupakan bentuk pengakuan negara atas wabah difteri sebagai ancaman atas keamanan nasional.
Kembali pada apa yang tertera pada judul, migrasi manusia merupakan isu yang amat rentan pada bentuk sekuritisasi terlebih lagi ketika kita berbicara mengenai imigran gelap. Kebijakan Presiden AS yang menutup rapat-rapat celah imigran gelap untuk memasuki wilayah AS memang bukan tanpa alasan.
Nampaknya jutaan opini telah bermunculan terkait polemik sikap suatu negara dalam menghadapi arus imigran. Bangsa barat telah mendapat lemparan bumerang secara telak atas nilai-nilai liberal yang mereka cetuskan sendiri. Mereka menghadapi berbagai narasi dari publik yang intinya berkaitan dengan pertimbangan kemanusiaan dan nilai moral universal.
Memang dengan pendekatan moral akan sulit dipahami bagaimana mungkin suatu negara menolak untuk menerima begitu banyak orang yang dengan putus asa hendak mendapat tempat untuk bernaung demi bisa hidup aman serta mendapat kesempatan meningkatkan taraf hidup.
Namun sebagaimana disebutkan sebelumnya, pendekatan keamanan tentu mengambil andil besar. Fakta menunjukkan bahwa sebagian "oknum" imigran di AS, Inggris dan negara Eropa lainnya justru menganggu keamanan dan ketertiban umum. Mereka (merujuk pada sebagian oknum imigran) memaksakan penyebaran nilai-nilai yang mereka anut, sebagian menebarkan radikalisme, sebagian melakukan tindakan tak senonoh termasuk pelecehan seksual dan pemerkosaan, sebagian terlibat kasus kriminal termasuk pembunuhan.
Di Indonesia sebagian oknum imigran yang bertujuan ke Australia tapi tertahan karena suatu kendala, bahkan memilih untuk tinggal dan menjadi oportunis dengan membuka "pasar kaget" yang bernuansa kampung halaman mereka. Sebagian masyarakat bahkan tidak nyaman dengan sikap dan tingkah laku mereka yang tentu dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan tradisi.
Secara sederhana dapat dipahami sebagai berikut, ada hal utama yang membedakan antara imigran gelap dengan imigran legal. Keduanya merupakan sekelompok orang yang hendak menetap di negara lain, hanya saja imigran legal melakukan serangkaian proses hukum dengan baik yang termasuk melengkapi dokumen seperti visa dan izin tinggal, mencantumkan tujuan kedatangan dengan jelas, memiliki rencana kegiatan yang jelas terkait apa yang dilakukan setelah memasuki wilayah negara yang dituju.
Pada kasus seseorang memohon perlindungan untuk tinggal di negara lain karena keselamatannya terancam bila ia masih di negara asalnya, maka orang tersebut termasuk pemohon suaka yang kemudian akan diterima oleh negara penerima suaka. Pemohon suaka dapat digolongkan sebagai imigran legal. Para imigran legal merupakan orang-orang yang mengurus kepindahannya secara legal dan mandiri (tidak kolektif). Mereka mengeluarkan sejumlah biaya dan mencurahkan segenap tenaga untuk mematuhi ketentuan yang berlaku demi mendapat pengakuan yang sah atas status migrasi mereka.