Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Iwan

Pelajar Seumur Hidup

Bersabar dari Ketidaknyamanan Sebuah Pekerjaan adalah Jua Manifestasi Rasa Syukur

Diperbarui: 6 September 2019   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : Pexels

Belum lama ini, saya sempat membaca tulisan temen-temen netizen soal hijrah dari pekerjaan yang lama ke pekerjaan yang baru yang dalam kacamata sebagian orang lebih barokah. Saya mau cerita boleh ya? Mudah-mudahan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil, eh, maksud saya, ada banyak kegagalan yang bisa dijadikan pelajaran. Eh, gimana sih?

Beberapa bulan belakangan menjadi waktu-waktu terberat saya sebagai pilot maskapai penerbangan yang bernama Keluarga. Pasalnya, sudah (kurang lebih) setahun saya memutuskan resign dari perusahaan transportasi tempat saya bekerja. Alasannya, ada beberapa, di antaranya; jenuh, jarak antara tempat bekerja dan tempat tinggal yang cukup jauh dan lebih dari cukup untuk membuat pinggang saya tiap hari terasa sakit, dan ingin mencoba peruntungan baru.

Belasan tahun bekerja mengukur jalanan Jabodetabek plus sesekali Sukabumi, Merak, Bandung dan Indramayu, di atas kabin truk (soal pekerjaan ini pernah saya tulis di otomojok dua tahun yang lalu) membuat saya mulai merasakan kejenuhan yang teramat. Saya mulai merindukan waktu luang yang lebih banyak di rumah, untuk keluarga, untuk leyeh-leyeh sembari membaca, mendengarkan musik dan sesekali menulis ---meskipun hanya menulis status facebook, saya betul-betul merindukan hal itu.

Saya mulai mencari-cari peluang lain untuk menggantikan pekerjaan saya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdagang salah satunya, karena selain bisa dikerjakan tanpa harus jauh-jauh meninggalkan rumah dan keluarga, konon berdagang membuka kunci-kunci pintu rejeki dari banyak arah. Tapi tentu saja berdagang butuh modal dan mental yang bukan main-main. Sayangnya, keinginan untuk resign sudah di ubun-ubun, meskipun banyak orang-orang yang peduli dengan saya menyarankan agar jangan terburu-buru mengambil keputusan, saya tetap bergeming. Saya resign.

Setelah resign, sembari membuka warkop kecil-kecilan di rumah, saya akhirnya memilih menjadi marketing freelance di perumahan tempat saya tinggal dan sesekali mengirimkan tulisan ke media online. Beberapa bulan semua berjalan lancar. Komisi dari hasil menjual rumah cukup lumayan, pun honor dari menulis bisa untuk membayar cicilan rumah. Warung kopi, alhamdulillah, sampai sekarang masih bertahan.

Namun, bukan bahtera namanya jika tak mau digoyang ombak, bukan pesawat jika tak ingin digetarkan turbulensi, bukan hidup namanya jika tak sudi ditampar kesusahan. Sebentar, saya bikin kopi pahit dulu, curhat kayak gini kalau enggak sambil ngopi rasanya feel-nya kurang dapat. Bukan begitu, saepul?

Setelah kemudahan-kemudahan yang saya ceritakan di alinea sebelumnya, kesulitan mulai mengambil peran. Bulan-bulan berikutnya, penjualan rumah mengendur, entahlah, mungkin saya yang kurang keras berusaha, media online yang biasa mengakomodir tulisan-tulisan remeh saya tak lagi menerima tulisan dari kontributor. Na'asnya, cicilan rumah dan kebutuhan hari-hari bukannya ikut mengendur malah seperti mencekik leher saya semakin kencang, sulit hanya untuk sekadar mengembuskan nafas dengan bebas. Saya mulai goyah.

Lintasan kenyamanan hari-hari kemarin--- saat masih menerima gaji setiap bulan, saat mengajak anak-anak liburan sehabis gajian---mulai berkelebat menciptakan keperihannya sendiri. Perih itu semakin menjadi saat si bungsu di akhir bulan tetiba berujar, "Ayah enggak ke Alfa? Ngambil gaji ayah?"

Pun nasihat-nasihat sederhana dari saudara dan sahabat yang saya abaikan begitu saja, sesaat sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja, riuh memenuhi isi kepala,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline