Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Iwan

Pelajar Seumur Hidup

New Zealand dan Kesahajaan Kampung Naga

Diperbarui: 25 Januari 2017   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto : sebandung.com"][/caption]

Tilaria Padika, salah seorang kompasianer dari NTT, menulis tentang kisah lawatannya di New Zealand. Kisah yang memukau saya yang tak pernah ke mana-mana, kecuali mengukur jalan ibukota yang kian hari kian garang para penghuninya.

Bukan keindahan alam di negeri selatan pasifik itu yang ia kisahkan, sebagaimana para pelancong kebanyakan. Sebagai seorang yang lahir di pulau seindah NTT, keindahan alam tak terlalu membuatnya berdecak kagum. Tapi pesona kultur kehidupan bermasyarakatnya, yang membuatnya ingin membagi keterpukauannya.

Membaca kisahnya, saya malah membayangkan masyarakat yang ada dalam lirik lagu Katon Bagaskara, Negeri di Awan. Dimana kedamaian menjadi istananya.

Andai saya menjadi menteri pariwisata New Zealand, bang Tilaria akan saya undang sebagai tamu kehormatan, karena kesuksesannya memancing orang yang membaca kisahnya untuk berkunjung dan merasakan aura positif penduduk negeri itu.

Jika New Zealand begitu menakjubkan dengan kearifan lokal di tengah gaya hidup dan kemodernan kotanya. Di negeri kita, ada sebuah kampung dengan kearifan lokal yang tetap terpelihara dalam kesahajaan gaya hidup dan kelestarian alamnya.

Sebuah kampung hijau di lembah pegunungan, dengan sungai jernih yang merenda tepinya. Sebuah kampung di salah satu sudut kota Tasikmalaya. Kesejukan dan kelembutan embus angin tak membuat lembek penghuninya yang kukuh menggenggam kuat tradisi leluhurnya. Yang bergeming, tak tergoda dengan penerangan listrik. Hegemoni PLN dengan TDLnya yang membuat masyarakat kota misuh-misuh, tak berlaku di kampung ini.

Alasannya, mereka tak ingin kehidupan warga berubah karena setiap rumah berlomba-lomba membeli barang-barang elektronik mahal, dan mencipta kesenjangan.

Saya jadi teringat kehidupan desa Lerok dalam novel Ulidnya mas Mahfud Ikhwan, yang sekejap berubah gemerlap semenjak listrik masuk. Akibatnya, beranda masjid yang semula ramai oleh anak-anak yang bermain selepas sholat isya, menjadi sepi. Karena di waktu-waktu itu acara tivi sedang bagus-bagusnya.

Membayangkan ketenangan kampung Naga, demikian namanya. Dengan rumah sederhana--namun tahan gempa--yang seragam ukuran dan bentuknya. Dengan kesejukan alamnya. Dengan keramahan orang-orangnya, namun teguh memegang kearifannya. Saya juga teringat sebuah desa samurai di Jepang dalam filmThe Last Samurai.

Di sana, semua berjalan selaras dengan alam. Pesawahan terasering yang padinya mulai menguning dan tertiup angin, bergerak seirama kibasan samurai yang diayun perlahan. Kanak-kanak yang bermain dan berlari, selincah anak panah yang dilesat dari busurnya. Begitu seimbang. Begitu damai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline