Lihat ke Halaman Asli

'Rujuk' Cantik Jokowi-Prabowo

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

AKHIRNYA yang ditunggu-tunggu seluruh rakyat Indonesia di minggu-minggu terakhir terwujud: dua kontestan peserta Pilpres 2014 bertemu setelah sekian lama sejak hari-hari debat. Salah satunya sudah terpilih sebagai Presiden, dan yang lainnya kita tahu, meskipun tidak terpilih namun memiliki bargaining yang sangat kuat.

Secara faktual, Prabowo hanya kalah tidak sampai 5 persen dibanding perolehan suara Jokowi, di sisi lain bahkan perolehan suara Koalisi Merah Putih di parlemen jauh meninggalkan kalkulasi kuantitatif perolehan koalisi Indonesia Hebat. Jabatan pimpinan DPR-MPR pun disapu bersih. Ini mengakibatkan dinamika politik sejak sebelum Pemilu hingga sebelum pertemuan Jokowi-Prabowo menyulut tensi tinggi, ditambah media massa yag seolah mendapat durian runtuh untuk memblow-up segala berita sekaitan rivalitas Jokowi-Prabowo.

Kita tentu masih belum lupa, pasca KPU menetapkan kemenangan Jokowi, kubu Prabowo praktis menggunakan seluruh hak politiknya untuk menggugat hasil konstitusional tersebut melalui MK. Tak pelak, suhu politik di segala dimensi masih saja memanas. Rakyat di akar rumput dan menengah (via media sosial) seperti dikipas terus oleh kontestasi dan kompetisi antara kedua kubu. Konsekuensinya, rakyat tak bisa dipungkiri terbelah secara politik, psikologis, dan sosiologis.

Kondisi sebelum Jokowi-Prabowo bertemu, seolah-olah negeri ini selalu ribut, bising (meminjam istilah Gun Gun Heryanto, pakar komunikasi Politik UIN-Jakarta). Setiap kita membuka siaran televisi nasional maka berita utamanya pasti tentang itu melulu. Di TVOne dan MetroTV kebisingan itu menjadi-jadi. Kita bisa melihat betapa kedua media secara terus menerus seolah menegaskan keberpihakannya kepada kubu tertentu. Di media cetak dan beberapa media on-line pun sami mawon.

Kita tentu saja wajar untuk cemas, jika kondisi tersebut berlarut-larut, maka imbasnya akan seperti efek domino. Instabilitas politik akan berdampak pada instabilitas ekonomi, dan sosial, bahkan budaya. Risiko terbesarnya adalah chaos secara nasional. Kita tidak bisa pula menutup mata, ada dorongan-dorongan yang potensial tidak terkontrol manakala di akar rumput rakyat masih saja emosional merespon berita miring yang menghujat tokoh idolanya.

Ini bisa menyebabkan kita semua ‘macet’ menjalani aktivitas sehari-hari. Kita menjadi sulit untuk move on, padahal kehidupan harus berlanjut, semua orang butuh hiburan dan relaksasi, jauh dari keseriusan dan apalagi kebuntuan politik yang menjemukan. The show must go on, bahasa kerennya.

Sekali lagi, pertemuan Jokowi-Prabowo telah banyak memberikan efek positif kepada khalayak. Siapapun dia, apapun suku dan pilihan politiknya, bahkan agamanya, saya yakin seyakin-yakinnya sangat beryukur di dalam hatinya menonton berita atau membaca di koran tentang pertemuan yang akrab dan jauh dari kesan dipaksakan itu.

Kita bisa melihat nada bicara Prabowo dan Jokowi sangat bersahabat, rileks dan jauh dari rekayasa di saat konferensi pers spontan di halaman rumah orang tua Prabowo tersebut. Pertemuan itu seolah mematahkan propaganda dari banyak media yang masing-masing pro pada salah satu kubu. Lebih jauh, pertemuan itu menurunkan kekuatiran kita pada isu-isu tak jelas dan tak sedap tentang hari pelantikan presiden 20 Oktober nanti.

Kini, mari kita sambut pemerintahan baru. Oposisi, kompetisi, dan trik politik sah-sah saja, malah merupakan hak dan kewajiban manakala niatnya adalah demi tetap mengkontrol roda pemerintahan agar tetap di track yang diinginkan masyarakat. Tetaplah sadar, Pemilu hanya secuil mekanisme politik yang rutin dilalui, pascapemilu kita mestinya bersatu, nasionalisme dikedepankan, sektarianisme dikubur.

Ke depan, kita masih berharap agar Prabowo dan kawan-kawan seiringnya mampu secara dewasa mengejawantahkan posisinya sebagai negarawan yang menyejukkan, jauh dari kesan sangar apalagi kekanak-kanakan.

Kita juga berharap Jokowi tetap dengan kerendah-hatiannya dan jiwa akomodatifnya mampu menampung segala aspirasi dan kritik secara elegan. Memang tidak akan pernah mencapai derajat sempurna, namun setidaknya kita harus terus dorong para pemimpin dan negarawan kita untuk mau melangkah ke dalam fase-fase dinamika (komunikasi) politik yang mencerahkan.***

(Pernah dimuat di Harian Singgalang, edisi 18 Oktober 2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline