Seperti yang kita tau, UU ITE muncul karena pesatnya perkembangan teknologi di bidang informasi dan transaksi elektronik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, tujuan di ciptakannya UU ITE adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik, melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi dan sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi. Dengan demikian, masyarakat akan merasa nyaman dan aman karena merasa terlindungi ketika mengakses atau melakukan transaksi elektronik.
Namun UU ITE banyak di kecam dan di nilai membelenggu kebebasan berekspresi dan di gunakan untuk membungkam kritik. Pernyataan tersebut muncul karena adanya beberapa pasal yang di anggap tidak tegas dan multitafsir yang mengakibatkan mudahnya seseorang terjerat dengan UU ITE ini. Bukannya berfungsi untuk melindungi, UU ITE ini malah menjadi pembatas rakyat dan pers dalam menuangkan ekspresi dan informasinya melalui media informasi.
Setidaknya ada empat pasal yang di anggap multitafsir dan menegecam kebebasan berbicara dan di gunakan untuk membungkam kritik yang mengakibatkan harus adanya revisi mengenai pasal tersebut. Keempat pasal itu yakni pasal 26 tentang penggunaan data pribadi, pasal 27 terkait distribusi dan transmisi konten yang mengandung pelanggaran kesusilaan, judi, penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal 28 tentang penyebaran kabar bohong dan isu menyangkut suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), dan pasal 36 tentang konten yang di anggap merugikan.
Selagi proses revisi berjalan, mahfud mengatakan pemerintah akan menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) yang di tandatangani kapolri jendral Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menteri komunikasi dan informatika Jhonny S Plate terkait pedoman penerapan UU ITE. "ini bisa di jadikan pedoman agar tidak terjadi kesewenang-wenangan baik di pusat maupun di daerah" kata mahfud , seraya melanjutkan "akan di luncurkan dalam waktu yang tidak terlalu lama". Selain mengajukan revisi empat pasal, pemerintah juga berencana mengajukan satu klausul baru pada Pasal 45 yang berisi tentang sanksi pidana dan denda dari penyebaran kabar bohong yang menimbulkan kebencian dan seterusnya.
Namun, Sugeng Purnomo, anggota Tim Kajian UU ITE dari Kemenkopolhukam, mengatakan pemerintah tidak akan mencabut pasal-pasal tersebut, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengajuan gugatan untuk membatalkan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE oleh individu dan sejumlah koalisi masyarakat sipil. Akan tetapi Pemerintah mengusulkan untuk memberikan penjabaran lebih detail pada Pasal 27, termasuk pengaturan tentang dihapusnya pidana apabila pencemaran nama baik atau kehormatan dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Karena apabila pasal tersebut tidak di jabarkan dan di revisi, maka isi dari pasal tersebut sangat bertentangan dengan KUHP yang sudah berlaku di negara ini.
Dan untuk pasal 36, "Pasal 36 akan direvisi untuk mempertegas apa yang dimaksud dengan kerugian, dan sifatnya hanya kerugian materiil sebagai akibat langsung dan hanya dibatasi dalam pasal 30 hingga 34," kata Sugeng dalam keterangan pers.
Sementara, untuk tambahan klausul pada pas 45C akan memuat aturan tindak pidana terkait penyebaran informasi tanpa data (bohong) yang menimbulkan keonaran. Keonaran yang di maksud adalah "terjadi di ruang fisik atau nyata bukan di ruang digital", kata Mahfud. Mahfud juga mengatakan bahwa pemerintah juga akan menambah narasi terkait jerat pidana bagi pendistribusian informasi yang merugikan pihak tertentu bukan untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut yang seharusnya di kaji kembali sebelum di terapkan atau di tetapkan menjadi UU ITE, karena bisa jadi, dengan adanya pasal tersebut, bisa di katakan akan membatasi media pers dalam menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya.
Kenapa sih hanya empat pasal yang di ajukan untuk di revisi ?
Manajer media dan kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, mengatakan pemerintah perlu menjelaskan secara terperinci mengapa hanya empat pasal saja yang direvisi, sementara masih banyak pasal lain dalam UU ITE yang juga bermasalah. Dia mencontohkan Pasal 26 tentang kewajiban menghapus informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak relevan.
"Indonesia memiliki catatan impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, korupsi, atau kekerasan seksual. Ini membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi negatif tentang dirinya, termasuk informasi yang diproduksi media pers," kata Nurina.
Pihaknya juga mempertanyakan kehadiran Pasal 45C tentang pidana terkait pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran yang menurutnya berpotensi multitafsir dalam implementasinya. "Apakah demonstrasi dengan ribuan massa yg dilakukan secara damai termasuk keonaran? Apakah teman-teman di Papua, misalnya, yang turun ke jalan karena memprotes ucapan pejabat di medsos yang kemudian ditanggapi viral dan menginspirasi mereka untuk unjuk rasa damai di depan DPR, apakah ini termasuk keonaran?" katanya (Nurina). Tentunya sebagai pemerintah harus memiliki alasan yang logis yang harus di informasikan kepada masyarakat mengapa hanya mengajukan revisi mengenai empat pasal, jangan sampai masyarakat salah menafsirkan tujuan pemerintah yang hanya mengajukan revisi dari empat pasal tersebut.
Intinya dengan adanya UU ITE yang bisa di katakan juga mengatur kegiatan masyarakat dan pers dalam media sosial atau media informasi, seharusnya UU tersebut berfsungsi untuk kepentingan rakyat, yang artinya ketika masyarakat/pers menyebarkan atau menyajikan informasi secara aktual, ada UU yang menjamin dan melindungi mereka dalam penyajian informasi tersebut. Apabila undang-undang tersebut malah membatasi media, berarti harus di pertanyakan, untuk apa dan untuk siapakah UU ITE tersebut di tetapkan.