Internet tiba-tiba menjadi kebutuhan intim dalam kehidupan masyarakat modern. Fakta ini semakin tepat mengingat relasi manusia dengan media baru semakin intens dan menyentuh segala hal. Jika Michel Voucault pernah mengatakan "knowledge is power" maka hari ini kita bisa mengonversinya menjadi "information is power." Artinya, seseorang yang memiliki akses informasi, dialah yang mempunyai kekuatan.
Sama halnya, jika kita pernah menonton serial Anime Naruto, karakter bernama Orochimaru pernah menyebut bahwa, "informasi jauh lebih berbahaya daripada senjata." Karena itu tidak berlebihan dikatakan, seseorang yang menolak arus era digital-informasi, sama halnya ia menolak kehidupan itu sendiri.
Publik Digital
Pada tahun 2016, catatan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengonfirmasikan data bahwa tahun 2016 sebanyak 132,7 juta penduduk merupakan pengguna internet. Sekitar 51,8% atau lebih dari setengah dari 256,2 juta jumlah total penduduk Indonesia. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Jika pada lima tahun lalu jumlah data telah menunjukkan kurva persentase sebesar itu, maka bagaimana dengan hari ini dengan perkembangan teknologi-digital telah semakin ekstensif?
Di dalam fakta ini, internet sesungguhnya dapat menjadi mitra bagi apapun dan siapapun, termasuk dengan budaya. Sifat internet yang berwajah ganda memungkinkan seseorang menjadi konsumen dan produsen sekaligus.
Dalam arti, pengguna tidak hanya pasif menerima dan mengonsumsi informasi tetapi juga aktif memproduksi, mereproduksi dan menyebarluaskan informasi.
Dalam konteks inilah Marshal Mcluhan menyebut media internet sebagai perluasan manusia (the extensions of man), baik dari aspek fisik maupun aspek psikisnya (Understanding Media: The Extensions of Man, 1964).
Budaya dan Dimensi Internet
Saat ini, untuk mengetahui kondisi dan informasi di suatu tempat tertentu di berbagai belahan dunia, seseorang tidak lagi perlu terbang menuju ke sana, melainkan cukup mengaksesnya melalui internet yang tersedia di gadget masing-masing. Ibarat potong kertas, ia lebih praktis, instan dan efisien.
Dalam perspektif sosial-budaya, era digital-informasi dapat menjadi lahan subur untuk mengaktifkan kembali nilai-nilai kultural yang sebelumnya selalu dikhawatirkan menghilang (jika bukan ditinggalkkan). Perlu ada sentuhan kesadaran kolektif terhadap berbagai manfaat internet di ruang publik (public sphere) khususnya terhadap entitas kebudayaan luhur kita tersebut.