Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Berkualitas Sebagai Jangkar dalam Mewujudkan "Indonesia Emas 2045"

Diperbarui: 4 November 2024   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah maraknya pembahasan tentang “Indonesia Emas” dan "bonus demografi,” realita dunia pendidikan di Indonesia justru memunculkan kekhawatiran yang mendalam. Kita sering melihat video viral di media sosial yang memperlihatkan siswa SMA kebingungan saat menjawab pertanyaan sederhana, seperti menyebutkan lokasi Garut yang dikira berada di Eropa, atau menjelaskan istilah geografis dengan jawaban yang salah. Hal ini tidak hanya lucu, tapi juga miris karena menggambarkan betapa rendahnya pemahaman pengetahuan dasar. Kondisi ini merupakan gejala permukaan saja. Masalah yang lebih serius adalah banyaknya anak-anak SMA yang terbata-bata dalam membaca, bahkan mengeja, dan sulit memahami teks sederhana. Ini bukan masalah satu atau dua anak, tapi ratusan atau bahkan ribuan di seluruh Indonesia.

Kemendikbud telah menekankan pentingnya pemahaman literasi kognitif dan numerasi, tapi bagaimanakah kita bisa bicara soal pemahaman bacaan jika kemampuan dasar membaca itu sendiri masih sangat minim? Bagaimana bisa kita mendorong kompetensi tinggi seperti pemahaman kognitif jika banyak anak masih kesulitan menghitung? Inilah yang menjadi akar masalah: pondasi dasar pendidikan yang masih rapuh. Jika pondasi ini tidak diperbaiki, segala bentuk rencana Indonesia Emas dan bonus demografi hanya akan menjadi retorika belaka.

Visi Indonesia Emas adalah ketika negara kita mampu melepas diri dari jebakan kelas menengah dan menjadi negara maju. Bonus demografi adalah ‘kendaraan’ yang bisa membawa kita ke sana, didorong oleh dominasi angkatan kerja produktif yang puncaknya akan tercapai pada 2045. Namun, bagaimana bisa kita menyongsong status negara maju jika pendapatan per kapita kita sekarang masih di angka sekitar 4.580 USD, padahal standar negara maju adalah mencapai sekitar 13.000 hingga 14.000 USD?

Secara teori, peluang untuk meningkatkan angka ini terbuka jika kita bisa menjaga pertumbuhan ekonomi pada level 7%. Kuncinya adalah pada pengelolaan bonus demografi yang tepat. Negara-negara seperti China dan India, yang sudah lebih dulu melalui bonus demografi, menunjukkan keberhasilan memanfaatkan momentum ini untuk pertumbuhan ekonomi yang signifikan. China, misalnya, berhasil meningkatkan proporsi usia produktif hingga lebih dari 70% dari total populasi antara tahun 1980 hingga 2010. Hasilnya, ekonomi mereka tumbuh rata-rata di atas 10% dalam periode itu, dan lebih dari 850 juta penduduknya berhasil keluar dari garis kemiskinan.

Jika dilihat lebih dalam, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang lebih besar secara geopolitik, sosial, dan usia populasi dibandingkan China dan India. Namun, tantangan besar yang menjadi penghalang dalam memaksimalkan bonus demografi adalah rendahnya produktivitas dan minimnya inovasi. Indeks Inovasi Global menempatkan Indonesia di peringkat 61 dari 123 negara pada tahun 2023, masih tertinggal dari Malaysia dan Filipina. Kualitas pendidikan yang rendah jelas berdampak pada produktivitas yang rendah, dengan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang hanya mencapai sekitar 4,2 juta rupiah per pekerja per tahun—kurang dari setengah produktivitas negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.

Peran pendidikan tinggi sangat krusial dalam meningkatkan produktivitas Indonesia. Saat ini, rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih berada di angka 6,76, yang artinya untuk meningkatkan 1% pertumbuhan ekonomi, kita membutuhkan investasi per PDB sebesar 6,76%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang saat ini berada di sekitar 5%, dibutuhkan rasio investasi per PDB sebesar 47% agar angka ini bisa mencapai 7%. Bergantung pada tabungan domestik untuk mencapai rasio ini sangat berisiko karena dapat memicu defisit transaksi berjalan yang besar, melemahkan rupiah, dan membuka potensi terjadinya capital outflow. Solusinya adalah menurunkan angka ICOR dengan meningkatkan produktivitas.

Gambar 2. Aset Penulis

Struktur ekonomi Indonesia yang masih sangat bertumpu pada konsumsi domestik (60% dari PDB) dan tenaga kerja informal (97% tenaga kerja) menjadikannya rapuh dan rentan terhadap guncangan internal. Jika tingkat konsumsi menurun, banyak usaha kecil kekurangan modal, produksi berkurang, dan tingkat pengangguran meningkat. Salah satu faktor yang memperparah situasi ini adalah judi online, di mana banyak uang yang seharusnya beredar di pasar domestik justru lari ke luar negeri. Ketergantungan pada konsumsi domestik memang membantu saat pandemi, tetapi ketika ekonomi pulih, kita justru semakin tertinggal.

Selain itu, perubahan atau fluktuasi ekonomi kita masih tinggi karena ekspor kita masih didominasi bahan mentah. Negara yang mampu mengolah bahan baku menjadi barang jadi cenderung memiliki stabilitas ekonomi yang lebih tinggi. Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor bahan mentah, yang diolah di luar negeri dan kembali dalam bentuk barang jadi dengan harga yang lebih tinggi. Kompleksitas ekonomi kita masih rendah dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, atau Thailand. Diversifikasi ekspor hanya bisa dicapai melalui inovasi, tetapi Indonesia hanya mengalokasikan 0,25% dari PDB untuk riset dan pengembangan—jauh tertinggal dari negara maju yang rata-rata mengalokasikan 3%.

Dengan begitu banyak masalah mendasar yang harus diselesaikan, kualitas pendidikan kita perlu dibenahi secara menyeluruh. Pendidikan tinggi harus mencetak lulusan yang tidak hanya pintar secara teori, tetapi juga terampil dan siap menghadapi tantangan di lapangan. Seperti kata Tan Malaka, “Jika kaum muda terpelajar menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat, maka lebih baik pendidikan itu tidak ada sama sekali.” Pendidikan bukan hanya untuk mendapatkan nilai atau gelar, tetapi untuk berkontribusi nyata kepada masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline