Maraknya pemasalahan hukum mengenai batalnya suatu perjanjian yang diakibatkan karena Force Majeure bukan merupakan suatu permasalahan baru bagi kita. Hal ini justru sering terjadi di lingkungan korporasi, ekstrimnya suatu korporasi atau perusuahaan justru menjadi pihak utama dalam permasalahan ini.
1. Bagaimana Akibat Hukum atas berakhirnya Perjanjian Sewa yang timbul dikarenakan terjadinya Force Majeure?
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antara kedua belah pihak yang dalam hal ini adalah antara Debitur dan Kreditur. Bahwa hubungan hukum antara Debitur dan Kreditur harus dipastikan merupakan sebuah Perjanjian yang jelas dimana waktu serta tempat Perjanjian tersebut disepakati.
pokok-pokok isi dari Perjanjian yang biasa dituangkan pada Perjanjian Sewa antara Debitur dan Kreditur terkait dengan Force Majeure :
- Force Majeure merupakan keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan Para Pihak, termasuk tetapi tidak terbatas pada huru-hara, epidemic, kebakaran, banjir, gempa bumi, pemogokan, perang, keputusan pemerintah yang secara langsung dan material menghalangi para pihak secara langsung untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan Perjanjian. (pengertian)
- Dalam hal terjadinya salah satu atau beberapa kejadian dan/atau peristiwa sebagaimana dimaksud Pasal (diatas), pihak yang terkena Force Majeure berkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang lainnya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya peristiwa tersebut.
- Perjanjian ini dapat diakhiri apabila ;
- Jangka waktu sewa telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
- Terjadi Force Majeure yang mengakibatkan Perjanjian ini tidak dapat dilanjutkan lagi;
- Penyewa tidak melakukan pembayaran atas Biaya Sewa dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima hari) sejak tanggal jatuh tempo; atau
- Salah satu dilikuidasi atau dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Jika kita berbicara terkait dengan hambatan dalam pencapaian isi perjanjian oleh Debitur ataupun Kreditur yang timbul karena adanya Force Majeure dan menyebabkan kondisi arus masuk serta keluar pada cashflow Debitur dan Kreditur tidak sehat hingga tak mampu lagi untuk memenuhi kewajiban, yang dikarenakan ikut terimbas oleh Pandemi Covid-19. Maka dari itu perlu Penulis jelaskan mengapa Covid-19 dapat dikatakan tergolong bagian dari Force Majeure.
Selanjutnya agar kita pahami bersama, rujukan pada contoh pokok perjanjian diatas guna mendapatkan jawaban atas apa saja yang tergolong dalam Epidemi, Pandemi, dan hingga pada ujungnya menjadi sebuah peristiwa yang merupakan Force Majeure, terkait dengan Epidemi yang masih menjadi tanda tanya kita semua dalam hal apakah peristiwa tersebut masuk kedalam bencana alam atau tidak, kita dapat mengacu pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan "Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit."
Pemerintah sendiri juga sudah menerbitkan Kepres Nomor. 12 Tahun 2020 dengan berpedoman pada Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization yang menyatakan bahwa Covid-19 adalah sebuah Pandemi, bukan lagi sebatas Epidemi karena penyebaran wabah tidak hanya dari satu area ke area lain namun angka penyebaran wabah sudah sampai keseluruh dunia, serta Pemerintah juga menetapkan wabah Covid-19 merupakan bencana non alam yang tergolong sebagai Bencana Nasional.
Dengan merekonstruksikan penjelasan diatas Covid-19 dapat penulis simpulkan telah masuk kedalam kategori Force Majeure, sebab terlihat wabah Covid-19 merupakan situasi yang hadir dalam keadaan terpaksa (Overmacht) yakni tidak dikehendakinya Pandemi ini serta terjadinya peristiwa ini diluar kemampuan manusia, kemudian wabah ini dapat berpotensi menghambat satu pihak di dalam perjanjian untuk menjalankan kewajibannya, serta tidak adanya unsur kesengajaan ataupun kelalaian atas hadirnya Covid-19 ini yang menyebabkan satu pihak pada suatu perjanjian tidak dapat menjalankan kewajibannya.
Selanjutnya pada Pasal 1244 KUHPerdata telah disampaikan "jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya."
Selanjutnya jika kita membaca dengan seksama Pasal diatas secara tersirat sesungguhnya telah memberikan pesan bahwa dalam hal tak terlaksanakannya satu perjanjian harus dipicu oleh suatu hal yang tak terduga (Pandemi), maka pada praktek Pengakhiran Perjanjian dalam tulisan ini kita hanya dapat berpedoman pada Contoh Pokok Perjanjian diatas poin 3 bagian ke 2 yang menyebutkan "Terjadi Force Majeure yang mengakibatkan Perjanjian ini tidak dapat dilanjutkan lagi." Dengan metode merinci setiap aturan yang lebih tinggi dari Perjanjian diatas maka unsur-unsur klausula dalam satu pasal di satu perjanjian dapat terpenuhi sesuai dengan kaidah hukumnya.