Bulan Ramadan telah tiba. “Marhaban ya Ramadan,” begitu sapa Nabi Muhammad SAW atas kedatangan bulan suci yang sangat istimewa ini. Disebut istimewa karena di dalamnya terkandung berkah, rahmat, dan maghfirah. “Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan olehnya. Di bulan ini napas-napasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima, dan doa-doamu diijabah,” kata Nabi Muhammad SAW seperti diriwayatkan Ibnu Huzaimah.
Maka jangan heran jika umat Islam menyambut bulan ini dengan istimewa pula. Orang Jawa, misalnya, menyambutnya dengan saling memberi makanan pada tetangga, dengan menu utama kue apem.
Konon pemberian kue apem adalah perlambang permohonan maaf. Kata apem berasal dari bahasa Arab, dari kata afwan, yang bermakna maaf. Jadi secara filosofi, apa yang dilakukan oleh orang Jawa dengan ater-ater kue apem sudah tepat karena Nabi Muhammad SAW sendiri, mengajak umatnya untuk memasuki bulan suci Ramadan dengan memaafkan. “Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu maka bebaskanlah dengan istighfar.”
Masalahnya, sering simbolisasi pesan Ramadan seperti tradisi ‘ater-ater’ kue apem telah kehilangan makna di kemudian hari. Yang kini kita rasakan memang benar-benar sekadar saling tukar kue apem. Tidak ada nilai spiritualitas yang mengiringinya sebagaimana filosofi yang melatarbelakangi tradisi itu. Ternyata tradisi kue apem itu adalah gambaran umum atas respon masyarakat kita terhadap kehadiran bulan Ramadan.
Religiusitas masyarakat dalam menyambut bulan Ramadan ternyata adalah religiusitas semu karena konstruksi kita dengan Ramadan sekadar pada tataran simbol yang telah kehilangan hakekat. Mari kita lihat kontradiksi ini. Di bulan Ramadan, kegiatan religius sangat semarak, termasuk di berbagai kantor pemerintah dan swasta.
Tarawih dan buka bersama menjadi tradisi yang tak terelakkan. Para pejabat sibuk mengagendakan kegiatan tersebut. Jamaah salat tarawih membludak di masjid atau musala, juga di kantor-kantor. Mobilisasi zakat terjadi besar-besaran. Berbagai lembaga zakat menuai “panen” di bulan ini. Mereka saling bertarung memanfaatkan momentum bulan Ramadan sebagai bulan amal. Pengajian terdengar di mana-mana. Dan speaker masjid dan musala tak lelah menyuarakannya.
Namun, semaraknya kegiatan ibadah di bulan Ramadan, yang setiap tahun datang menjemput umat Islam itu, sungguh ironis dengan “prestasi” yang dicapai bangsa ini. Semaraknya Ramadan tidak serta-merta mampu menurunkan tingkat korupsi bangsa ini.
Jika ditanya, siapa yang melakukan korupsi itu, tentu akan mudah dijawab. Mayoritas pelaku korupsi itu adalah orang Islam karena mayoritas masyarakat kita beragama Islam. Dan jika kita lanjutkan dengan pertanyaan, apakah yang melakukan korupsi itu ikut menyemarakkan Ramadan? Dengan memakai logika probabilitas, maka kemungkinan jawabannya “ya” sangat besar.
Berhenti pada simbol
Ibadah dalam Islam tidak bisa bisa dipisahkan dari dimensi simbolik dan filosofis. Kehilangan satu dari dua dimensi itu akan menyebabkan ketimpangan. Tanpa simbol, sulit mengukur eksistensi dan identitas suatu ibadah. Dan sebaliknya, tanpa filosofi maka ibadah itu bagaikan kulit tanpa isi.
Dalam dimensi simbol, maka yang disebut salat, misalnya, adalah perpaduan antara gerak, bacaan, dan diam. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sangat sulit diukur jika seseorang mengakui telah melakukan salat, padahal ia tak melakukan perbuatan seperti itu, meskipun ia berdalih telah memahami dan mempraktikkan filosofi atau makna salat dalam kehidupan di antaranya salat berimplikasi pada ditinggalkannya perbuatan jahat dan kriminal (inna shalata tanha an al fakhsyai wa al munkar).
Sebaliknya, orang yang menjalankan salat secara simbolik dengan tidak membawa implikasi kebaikan pada diri dan lingkungannya maka akan dikelompokkan pada golongan manusia celaka (fawailul lil mushallin). Al-Quran misalnya mengecam orang yang melalaikan filosofi salatnya karena tidak menyantuni orang miskin (Al-Maauun/107:1-7).