Oleh Mohammad Nurfatoni
Penulis buku “Tuhan yang Terpenjara”
Sungguh aneh! Bukan hanya sederhana, tapi sangat … sangat sederhana. Rumah itu benar-benar dari sesek (bambu) dan alasnya benar-benar tanah yang hanya dilapisi plastik. Itulah gambaran rumah kawan saya dan saudara-saudaranya yang berada di lingkungan salah satu pesantren di daerah Turi, Lamongan.
Orang di sekitarnya pada terheran-heran, malah ada yang mengumpat, “Gendeng be’e (gila mungkin).” Bagaimana tidak? Di tengah “perlombaan” penduduk desa untuk mewujudkan mimpi membangun rumah tembok sebagai simbol kemajuan, justru dia membangun rumah gedhek.
Bukan hanya penduduk sekitar yang heran, saya pun dibuat terkejut saat berkesempatan berkunjung ke sana. Ya mengapa, padahal dana juga ada? Tapi keheranan itu mulai sirna ketika kami menerima penjelasan.
“Bukankah rumah ini hanya sementara. Dan tidak akan kita bawa mati!”
“Lalu untuk apa kita bermewah-mewah dengan sesuatu yang akan kita tinggalkan. Bukankah justru ini yang gila sungguhan?”
“Karena itu, prinsip kami ‘rumah akherat’ harus lebih baik dari ‘rumah dunia’. Demikianlah pesan Bapak Guru."
Bapak Guru adalah panggilan almarhum ayah mereka. Rupanya pesan almarhum sang ayah benar-benar mereka praktikkan dalam kehidupan nyata. Sebab sang ayah tidak hanya pandai berbicara, melainkan dia sendiri yang memberi contoh hidup dengan rumah yang sangat sederhana. Rumah induk almarhum ayah mereka, kurang lebih sama kondisinya.
Satu-satunya bangunan “mewah” di kompleks pesantren itu hanyalah masjid. Tentu, yang dimaksud mewah bukan karena struktur dan ornamen yang megah dan mahal, melainkan hanya sebuah bangunan tembok.
“Masjid adalah simbol spiritual; simbol kehidupan akherat. Oleh karena itu kami membangunnya dengan istimewa,” jelasnya.
Banyak versus Bersih
“Pada hari ketika tidak ada gunanya harta dan keturunan. Kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih.” (asy-Syu’ara/26:88-89)