"Merokok merupakan jembatan emas menuju Narkoba" (mohon maaf bagi para perokok), pepatah tersebut sempat bergema beberapa tahun lalu jauh sebelum pandemi. Masyarakat pun menyadari dan sepakat dengan pepatah tersebut, karena berawal dari mencoba merokok yang akhirnya menjadi candu, lambat laun sebagian besar karena tidak bisa disebut kecil, para perokok mulai mencoba ganja dan mencoba penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Sudah banyak larangan, iklan, himbauan, seminar mengenai bahaya merokok bagi kesehatan, namun kita jumpai iklan larangan merokok tersebut terkadang sebagai bahan guyonan atau candaan. Para perokok sepenuhnya sadar akan bahaya rokok bagi kesehatan. Sering kita jumpai dan kita dengar bagi perokok yang memiliki anak, atau keponakan, atau cucu yang masih kecil, maka aktivitas merokok jauh dari anak-anak tersebut, atau jika anak-anak tersebut mendekat, pasti dihalaunya agar tidak mendekat karena sedang merokok.
Pada Tahun 2011, Kami pernah melakukan survey perilaku merokok karyawan dan pengunjung rumah sakit. Hasilnya adalah para perokok berasal dari masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah (rendah) yang dalam sehari bisa menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok, dan yang mengejutkan adalah ada dokter bedah jantung, ketika kami wawancarai pun juga merokok, bahkan sebelum melakukan tindakan/operasi harus merokok untuk menenangkan diri dan agar bisa konsentrasi saat melakukan operasi.
Bahkan ada salah satu pasien rumah sakit tersebut, seorang anak kecil yang di diagnosa paru-paru bocor yang di duga terpapar asap rokok. Yang setelah di telusuri memang anak tersebut berada di lingkungan perokok. Jadi rokok memang tidak berdampak langsung bagi perokok (perokok aktif), tetapi berdampak langsung bagi yang tidak merokok (perokok pasif).
Nah, dewasa ini ada pejabat publik yang menginformasikan (mengumumkan) bahwa para perokok adalah pahlawan bagi kesehatan., karena dari rokok dapat ditarik/dihasilkan pajak yang cukup besar yang sebagian besar pajak rokok tersebut dialokasikan untuk membiayai bidang kesehatan.
Bagaimana tidak, melalui Kementerian Kesehatan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok Untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat, yang kemudian dijadikan landasan hukum bagi Dinas Kesehatan, Bappeda maupun instansi lain yang terkait di level Provinsi/Kabupaten/Kota dalam menyusun program dan kegiatan yang memanfaatkan dana pajak rokok daerah khususnya untuk pendanaan bidang kesehatan.
Peraturan tersebut didukung lagi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017 Perubahan dimaksud adalah bahwa 75 % dari pajak rokok bagian pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat digunakan untuk membiayai program Jaminan Kesehata Nasional (JKN).
Dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017, Pemerintah daerah memiliki alokasi dana yang lebih untuk kegiatan dan pembangunan yang ada di daerah khususnya pada sektor kesehatan. Hal ini di perkuat dengan Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan NOmor Kep-28/PK/2022 tentang Proporsi dan Estimasi Penerimaan Pajak Rokok Untuk Masing-Masing Provinsi Tahun Anggaran 2023, yang mana untuk tahun 2023 Estimasi Penerimaan Pajak Rokok sebesar Rp. 22,79 triliun. Itu baru dari pajak rokok, belum dari cukai rokok sebesar Rp198,02 triliun.
Menjadi ambigu dan buah simalakama antara dampak rokok bagi kesehatan dengan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan alasan menekan pertumbuhan para perokok, pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Keputusan ini berlaku pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) dengan tarif berbeda sesuai dengan golongannya. Bahkan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN 2023, ditargetkan pendapatan cukai pada 2023 senilai Rp 245,4 triliun, yang sebagian besar berasal dari penerimaan CHT.
Penyesuaian tarif CHT ini diperkirakan akan berdampak pada beberapa hal seperti penurunan prevalensi merokok anak menjadi 8,92% di 2023 dan 8,79% di 2024. Serta naiknya indeks kemahalan rokok menjadi 12,45% di tahun 2023 dan 12,35% di 2024. Bagi pecandupenikmat rokok, berapapun harga rokok, berapa ratus persen pun kenaikan harga rokok, pasti akan di beli karena sudah menjadi candu, tidak akan berdampak kenaikan harga tersebut terhadap penurunan atau berkurangnya para perokok. Jadi, kami merasa harapan akan terjadi penurunan tidak terwujud.