Ketika terpilih menjadi presiden RI peridode kedua, Presiden Jokowi mengingatkan para menteri untuk membuat gebrakan-gebrakan dalam lima tahun ke depan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mencetuskan sebuah program kebijakan yaitu merdeka belajar. Secara eksplisit, program ini untuk menciptakan suasana belajar menyenangkan baik itu bagi siswa, guru maupun sekolah.
Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan merdeka belajar, tentu banyak faktor pendukung. Suasana belajar yang nyaman, guru yang tidak banyak diberikan beban, persamaan hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Dalam dunia pendidikan formal di Indonesia, kita mengenal setidaknya dua institusi pendidikan yaitu sekolah dan madrasah.
Selama ini masih ada dikotomi antara sekolah dengan madrasah baik dari sisi pemerintah maupun dari pandangan masyarakat. Dalam hal ini tentang sekolah dan madrasah negeri yang didirikan oleh negara walaupun keduanya berada dalam payung yang berbeda. Sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara madrasah berada dibawah Kementerian Agama.
Sampai saat ini terkadang masih terdapat ketimpangan antara kedua institusi tersebut. Misalnya dari segi dana bantuan yang diberikan cenderung berat sebelah dengan porsi lebih besar kepada sekolah umum daripada madrasah. Sekolah umum mendapat suntikan dana dari pusat dan pemerintah daerah, sedangkan madrasah hanya dari pusat.
Pemasungan Prestasi
Pengamat pendidikan, Muhammad Abduh kepada Republika.co.id (18/7/2019) mengatakan bahwa madrasah masih kurang perhatian dari pemerintah sehingga ada anggapan kualitas pendidikan di madrasah masih kurang. Sekolah SDN, SMPN, dan SMAN di bawah naungan Dinas Pendidikan (Disdik) pemerintah daerah. Sehingga mendapat alokasi dana anggaran dan perhatian lebih besar, terutama dari pemerintah daerah.
Kita pernah tercengang dengan berita tahun 2015 siswi di Kabupaten Semarang yang juara OSN tingkat SD gagal bertanding di provinsi hanya karena diskriminasi statusnya sebagai siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kasus ini sampai mendapat perhatian serius Menteri Agama waktu itu, Lukman Hakim Saifudin. Kejadian semacam ini bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar yang menginginkan siswa merasa suasana yang menyenangkan bebas berekspresi.
"Pemasungan" prestasi ini jika masih terjadi lagi, bisa mempengaruhi kondisi psikologis siswa. Ia merasa apa yang telah ia raih kurang mendapat apresiasi. Bagaimana tidak, sebagai juara tingkat kabupaten seharusnya bisa maju ke tingkat propinsi. Namun hak itu tidak ia dapatkan. Seharusnya ada aturan yang jelas karena masalah ini sudah berlangsung lama sehingga tidak ada lagi perbedaan hak antara siswa madrasah dengan sekolah
Berbicara tentang Merdeka Belajar, Direktur Kurikulum, Sarana Prasarana, Kesiswaan, dan Kelembagaan Kemenag, Ahmad Umar kepada CNN (7/1/2020) mengatakan bahwa Kemenag sebenarnya sudah menerapkan konsep yang sama, pembelajaran yang tidak mengekang guru dan siswa sebelum Mendikbud meluncurkan program Merdeka Belajar. Ia mencontohkan MTs Yanbu'ul Quran di Kudus yang memprioritaskan program hafalan Al-Qur'an dibanding pelajaran umum lainnya. Ini menyesuaikan kurikulum dan arah sekolah yang ingin mencetak hafalan Al-Quran.
Problematika Iuran Sekolah
Ketika akhir-akhir ini sekolah negeri sedang gencar menggratiskan biaya pendidikan, namun hal ini belum terjadi di lingkungan madrasah. Ini menjadi problematika dan tantangan besar bagi madrasah saat dibukanya PPDB. Masih banyak orangtua yang mempertimbangkan faktor ekonomi untuk memasukkan anaknya ke sekolah umum karena gratis SPP (dan mungkin juga uang gedung). Pada sektor ini, tentu daya tarik madrasah berkurang dan harus berpikir keras apa yang bisa ditawarkan seperti prestasi (akademik-non akademik) juga mutu lulusan yang berpengetahuan agama (serta tahfidz jika ada). Kita tentu sudah paham bahwa "persaingan" untuk mencari siswa baru semakin ketat dengan menjamurnya sekolah swasta baru.