"Jalanan sepi," celetuk pria paruh baya sebelum meneguk segelas susu jahe hangat di angkringan. Saya yang duduk tak jauh dengan pria itu hanya bergumam, sibuk mengunyah sate usus.
Sang bakul angkringan (baca: Mas-mas yang menjajakan kuliner) pun menanggapi renyah. Kata si bakul, aktivitas masyarakat terfokus dengan pertandingan Timnas Indonesia dengan Uzbekistan di layar kaca. "Namanya juga lagi pada nonton bola," ujarnya sambil terkekeh.
Mendengar guyonan itu, saya tentu ikut membenarkan. Sebab beberapa toko di sekitar tempat tinggal saya di Condontcatur, Sleman, terlihat tutup lebih awal, termasuk laundri dan pangkas rambut. Tempat-tempat seperti pos ronda dan warmindo (warung makan indomie) yang justru seketika penuh oleh warga.
Bakul angkringan terus mengoceh soal pertandingan, pertanda membuka obrolan. Sang bakul seolah memiliki profesi ganda: jaga angkringan sekaligus pengamat sepakbola dadakan. Dari sekian komentar yang dilontarkan, saya menangkap garis besarnya. Sang bakul begitu mengkhawatirkan posisi Timnas Indonesia sedari babak pertama berlangsung.
Satu argumen yang saya dengar dari si bakul, pertahanan Timnas Indonesia sangat rentan di hadapan Timnas Uzbekistan. Serangan bertubi-tubi dari serigala muda, menurut bakul angkringan, berpotensi membuat lini belakang garuda kepayahan dan mudah ditembus.
Saya pribadi tak paham betul bagaimana sepakbola. Di angkringan itu, niat saya hanya mencari makan bersama istri. Tapi mendengar perbincangan para bapak-bapak di angkringan soal pertandingan 'Garuda Vs Serigala', terkesan mengalir dan akrab. Rasanya hangat sekali.
Saya terus saja menyantap nasi kucing, bungkus demi bungkus, sembari menyimak perbincangan para bapak-bapak yang tengah 'jagongan' di angkringan. Mereka semua menyaksikan pertandingan dari layar ponsel masing-masing. Meski begitu, obrolan tetap mengalir dan nyambung.
Hingga babak pertama usai, obrolan sempat terhenti. Bakul angkringan kemudian mengucap sesuatu yang bikin saya berdecak kagum. Dia menyatakan, garuda muda ibarat pemersatu. Apa pun latar belakangnya, setiap lapisan masyarakat menyatu dan duduk bersama seperti tanpa sekat.
"Kalau sudah begini, kemarin ribut-ribut soal pemilu seperti hilang. Sudah ketok palu, ya, selesai," kata bakul angkringan melanjutkan. Ucapan itu disambut tawa ringan dari bapak-bapak seolah mengafirmasi.