Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Noer Ihsanuddin

UIN Raden Mas Said Surakarta

Review Artikel "Dampak Perceraian dan Perberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri"

Diperbarui: 23 Oktober 2023   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Mohamad Noer Ihsanuddin

NIM : 212111191

Kelas : HES 5E

Review Artikel : Dampak Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, landasan tingkah laku, perkembangan sikap keluarga dan nilai-nilai kehidupan. Salah satunya adalah belajar menghormati orang yang lebih tua dan membantu menyelesaikan banyak masalah yang muncul.Kami berharap para orang tua dapat membantu anak-anaknya beradaptasi dengan lingkungan untuk mengatasi permasalahan dengan cara yang realistis dan simpatik. Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat yang menciptakan kondisi untuk menularkan nilai-nilai positif kepada anak.

Namun sebaliknya, keluarga seringkali menjadi sumber konflik bagi banyak orang. Suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong terjadinya konflik antara kedua orang tua.Salah satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtua. Ketika perceraian terjadi, anak akan menjadi korban utama.Orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orangtuanya.

Berdasarkan catatan Kantor Kemeterian Agama (Kemenag) di Wonogiri dalam setahun rata-rata ada 10.000-11.000 pernikahan. Dari jumlah tersebut, tingkat perceraian adalah sekitar 8 sampai 9%. Upaya menurunkan angka perceraian dan memberdayakan keluarga pasca perceraian tetap menjadi tanggung jawab masing-masing individu, namun berkat Badan Amil Zakat Daerah (Bazda), keluarga miskin mendapat kompensasi dari masyarakat atas pekerjaannya bahkan modal ekonomi untuk membantu keluarga miskin, baik untuk masa depan keluarga. program.perceraian atau hanya keluarga miskin pada umumnya.

Program pemerintah bahkan tidak menyebutkan bagaimana penyediaan akomodasi bagi keluarga sakinah, semuanya dilakukan sendiri-sendiri, sedangkan program pemerintah tidak didukung oleh anggaran yang cukup untuk mendukung program keluarga sakinah. Dalam artikel Dampak Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga, Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri, Tradisi Boro di Wonogiri mempengaruhi angka perceraian yang cukup tinggi, tingginya angka perceraian di kalangan perempuan berkorelasi dengan geografi, filosofi Boro dan sifat masyarakat Wonogiri. berbulan-bulan pergi ke daerah lain seperti Jakarta atau kota besar dan jarang pulang ke kampung halaman, atau merantau ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) atau perempuan menjadi pekerja (TKW). Menurut data, masyarakat Boro Wonogiri cukup besar sehingga banyak terdapat rumah-rumah yang luas dan mewah yang hanya dihuni oleh satu atau dua orang, yang tinggal hanya anak-anak dan perempuan, sedangkan suami merantau atau sebaliknya, anak dan ayah. karena perempuanlah yang bermigrasi ke luar negeri sebagai TKI. Faktor penyebab tingginya angka perceraian di Wonogiri terus meningkat. Dikarenakan sangat rendahnya tingkat keberagaman khususnya dalam bidang keagamaan, karena dalam mengamalkan ajaran agama masyarakat berusaha menjaga keutuhan keluarganya, permasalahan dalam keluarga merupakan bagian dari tantangan hidup.

Selain itu, perkawinan di bawah umur, kedua mempelai menikah pada usia di bawah 16 tahun, pasangan ini mempunyai kehidupan ekonomi yang tidak stabil sehingga menyebabkan permasalahan ekonomi keluarga, masyarakat cenderung mengeluarkan uang, boros belanja, produktivitas konsumsi meningkat, gaya berpikir mereka tidak stabil, terutama masalah persepsi dan pemahaman. Praktik keagamaan cenderung sangat lemah.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perceraian antara lain: tidak bertanggung jawab, kurangnya mata pencaharian, perzinahan, pertengkaran, pertengkaran, terpaksa tinggal, tidak memiliki anak, ditinggalkannya pelayanan makna, menikah dini. Selain itu, dalam artikel ini perlu ditegaskan bahwa ada cara pandang menjaga keutuhan dalam sebuah rumah: menurut Didik Purwodarsono, ada tujuh pilar yang dapat menjaga keharmonisan dalam sebuah rumah (Didik Purwaodarsono, 2012: 8).

Yakni, pertama, mengawal visimisi atau orientasi dalam berumah tangga, sehingga arah perjalan rumah tangga tetap berjalan sesuai dengan visi-misi yang dibangun bersama di awal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline