Membaca sejarah peradaban Islam tidak terlepas dari bagian sejarah yang menakjubkan. Era sejarah Islam yang menakjubkan tersebut atau era kemajuan dunia Islam menurut Ahmet T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan terjadi pada rentang abad ke-8 hingga ke-11 yang terjadi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah (750-1258) puncaknya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809) yang meresmikan Baitul Hikmah di Baghdad yang kemudian dikembangkan oleh anaknya yaitu Khalifah al-Ma’mun (813-833).
Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan adalah entitas sentral kajian keilmuan dan kegiatan penerjemahan teks-teks berbahasa asing seperti Yunani Kuno, Sansekerta, Suriah, dan Persia yang didominasi oleh pembahasan tentang filsafat, matematika, fisika, kedokteran, geologi, dan lain sebagainya.
Tidak hanya tempat pengkajian dan penerjemahan teks-teks asing dari peradaban sebelumnya, dari Baitul Hikmah juga melahirkan produk-produk keilmuan baru misalnya dalam bidang geografi, teknik, dan optik juga dalam bidang matematika seperti algoritma dan aljabar yang dikembangkan oleh al-Khawarizmi dan masih banyak lagi.
Reputasi Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu dengan fasilitas dan koleksi kepustakaan yang kompleks menarik perhatian tidak hanya dari kalangan umat Islam saja tetapi juga mereka yang berasal dari wilayah Barat.
Keberhasilan besar kekhalifahan Abbasiyah dalam membangun peradaban Islam yang cemerlang tidak bisa dilepaskan dari peran khalifah al-Ma’un yang meresmikan Mu’tazilah sebagai teologi resmi negara. Dalam teologi Mu’tazilah, akal dijunjung tinggi bahkan lebih tinggi ketimbang wahyu. Doktrin ini sangat mendukung program pemerintah Abbasiyah dalam mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Meskipun terdapat doktrin Mu’tazilah yang mengundang kontroversi, doktrin tersebut baik sedikit atau banyak diadopsi oleh beberapa filsuf rasional seperti Ibnu Rusyd mengingat Mu’tazilah dalam wilayah metode seperti yang dikatakan oleh Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Mind bahwa Mu’tazilah menggunakan metode filsafat Yunani Kuno Aristoteles yang digunakan dalam membangun argumentasi teologis ketika berdebat dengan kelompok kalam lain.
Di sisi lain menurut sebagian orang, mengungkit-ungkit era tersebut adalah bagian dari romantisme sejarah. Itu adalah bentuk sindiran terhadap umat Islam yang hanya bisa memamerkan sejarah kejayaan Islam di masa lalu tetapi tidak mampu melakukan hal yang sama hingga era sekarang.
Kemudian era kejayaan dunia Islam (golden age) disusul era krisis pada abad ke-12 hingga abad ke-14 akibat serangan militer dari berbagai bangsa yaitu bangsa Mongol dan bangsa Barat (Kristen) ke wilayah vital dunia Islam salah satunya adalah Baghdad. Kota Baghdad pada masa itu adalah simbol kejayaan Islam yang merupakan pusat keilmuan yang banyak melahirkan para ilmuwan yang memberikan sumbangsih besar terhadap peradaban dunia dalam berbagai disiplin keilmuan.
Namun, bukan berarti pada era krisis ini dunia Islam tidak lagi melahirkan ilmuwan atau filsuf besar berpengaruh seperti pada masa kejayaan Islam. Filsuf seperti Ibnu Rusyd (1126-1198) dan sosiolog seperti Ibnu Khaldun (1332-1406) dilahirkan pada masa krisis ini.
Sayangnya pemikiran dan karya dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun tidak begitu mendapatkan apresiasi yang layak di dunia Islam. Padahal tolok ukur kemajuan suatu peradaban adalah filsafat. Ketika filsafat kurang mendapatkan perhatian maka suatu peradaban belum bisa dikatakan maju. Dalam filsafat akal berfungsi secara sempurna dan tanpa batasan sehingga mendukung visi dan misi kemajuan peradaban.