Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Firman Alviansyah

Mahasiswa di Universitas Airlangga

Menanggapi Stigma Masyarakat mengenai Mahalnya Biaya Perguruan Tinggi

Diperbarui: 15 Juni 2024   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Pendidikan tinggi adalah Tertiary Education jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK wajib masuk perguruan tinggi," ucap salah satu pejabat Kemendikbudristek. Pernyataan ini tentu perlu dipertanyakan, terutama jika kita mempertimbangkan bahwa banyak lowongan kerja mensyaratkan pendidikan minimal setara sarjana. Hal ini semakin memperburuk stigma masyarakat mengenai tingginya biaya perguruan tinggi. Banyak sekali masyarakat yang masih menganggap bahwa kuliah hanya untuk mereka dengan kemampuan ekonomi tinggi.

Realitas Biaya Pendidikan Tinggi

Tugas pemerintah yang seharusnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun kenyataannya justru mereka membuat kontroversial terkait biaya pendidikan terutama pada perguruan tinggi. Biaya perguruan tinggi di Indonesia memang menjadi tantangan besar bagi banyak keluarga. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus meningkat menjadi salah satu penyebab utama. Mahasiswa dan orang tua seringkali mengeluhkan kenaikan biaya ini, yang dianggap tidak sebanding dengan pendapatan sebagian besar masyarakat.

Menurut data Kemendagri, jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi masih sangat rendah dibandingkan total populasi. Tingkat D1 dan D2 hanya sebesar 1,11 juta orang atau 0,4% dari total penduduk, D3 sebanyak 3,56 juta orang atau 1,28%, dan S1 sebanyak 12,44 juta orang atau 4,47%. Adapun tingkat S2 sebanyak 882.113 orang atau 0,31%, dan S3 hanya 63.315 orang atau 0,02%.

Dampak Stigma Sosial

Stigma bahwa kuliah hanya untuk orang kaya menciptakan kesenjangan sosial dan menghambat potensi banyak individu yang sebenarnya mampu secara akademis namun terkendala biaya. Hal ini dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia pada masa depan. Negara yang ingin maju harus memastikan akses pendidikan tinggi bagi semua warga tanpa memandang status ekonomi.

Masyarakat Indonesia masih memandang pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang eksklusif, bahkan lebih parahnya lagi mereka menganggap bahwa kuliah adalah suatu privilege. Artinya, kuliah hanya adalah suatu hal yang istimewa atau hanya orang orang tertentu saja yang bisa merasakannya. Banyak orang tua yang ragu untuk mengirim anaknya ke perguruan tinggi karena khawatir tidak mampu menanggung biaya. Ketakutan ini diperparah dengan minimnya informasi mengenai beasiswa dan bantuan finansial yang sebenarnya tersedia.

Pendidikan Tinggi sebagai Investasi

Pendidikan tinggi merupakan investasi jangka panjang yang dapat memberikan banyak manfaat. Dalam Laporan Pembangunan Dunia (2019) dari Bank Dunia, disebutkan bahwa pendidikan tinggi penting dan relevan di tengah persaingan tenaga kerja global. Pendidikan tinggi juga menjadi salah satu cara untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Studi Goastellec berjudul "Higher Education, Welfare States, and Inequalities" (2017) menemukan bahwa pendidikan tinggi terbukti bisa menaikkan kesejahteraan hidup seseorang. Selain itu, riset "Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat" (2021) dari Sahbuki Ritonga menunjukkan bahwa tingginya angka masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi dapat meningkatkan pendapatan ekonomi. Karena mereka dapat mengeksplorasi hal yang mereka pelajari, serta mudah untuk mendapat pekerjaan yang layak karena kuliah mempermudah akses seseorang dalam meraih pekerjaan.

Solusi untuk Mengatasi Stigma

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline