Lihat ke Halaman Asli

"Menakar pembacaan Kekuasaan-Bisnis Lokal: Perampasan Lahan Petani Penggarap Kalasey Dua"

Diperbarui: 3 Juli 2022   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image caption

[Foto: Posko Solidaritas Petani Kalasey Dua)


"Ritual demokrasi bisa saja ditaati, tetapi kapasitas negara untuk mengelola urusan bersama kita sesungguhnya sudah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis," George Soros (2000).


Hakim bisa punya putusan, tentara boleh punya senapan, tetapi pemodal dan sifatnya bisa membeli keputusan dan penggusuran.  Gagasan tentang locus utama negara ada pada kekuasaan terhadap masyarakat; masih bersifat negara sentris (state centris). [Herry-Priyono; 2021]. Sampai hari ini kita melihat dua gejala yang tumbuh:

 Pertama, setiap ketidakberesan sosial (termasuk perampasan ruang hidup) kita akarkan pada dominasi aparatur negara. Kebanyakan mengutip Hobbes--dengan menggambarkan negara sebagai "Leviathan" (sejenis pemangsa yang menakutkan). Padahal fakta penegakkan (law enforcement) bukan sekedar perkara tak-bergiginya pemerintah, tetapi soal kekuasaan bisnis dengan mudah mendikte aparatur negara, hingga akhirnya tak bergigi. Maka, kalim tentang pemerintah sebagai pucuk kekuasaan dalam masyarakat merupakan klaim di atas upaya yang mulai kehilangan substansi. Dalam tata Ekonomi-politik hari ini--dengan pengandaian desentralisasi kekuasaan lokal; kekuasaan bisnis telah menjadi Leviathan baru. Singkatnya kekuasaan besar bisnis  lebih sering tidak terkontrol meski diperlukan sebagai faktor penjelas. Misalnya pada kasus yang telah dan sedang di perjuangkan dalam konteks lokal Sulawesi Utara; salah satunya yang dirasakan oleh Petani Penggarap Kalasey Dua.

 Keduatanpa alas-realitas (bertolak dari fakta persoalan disekitar). Yang lebih parah dari klaim di atas kertas bahwa "pemerintah merupakan pucuk kekuasaan dalam masyarakat" (Leviathan). Adalah dengan di ikutinya klaim isu nasional yang seolah-olah sedang mewakili keberpihakan--dan seakan terus membicarakan 'semua' aspek kesinambungan hidup bersama. Maksud saya bukan hal itu tidak penting. Tapi bagaimana  dengan kekuasaan bisnis, yang telah menjadi Leviathan baru? Apalagi ketika hal ini Beriringan dengan relasi predatorial dan desentralisasi kekuasaan bisnis lokal. Fakta tanpa alas realitas ini sangat disayangkan karena masih dimotori oleh kebanyakan gerakan Mahasiswa hari ini: BEM dan sebagian organisasi Ekstra parlementer lainnya. Tanpa disadari gerakan sedang tersungkur pada dua keterjebakan sekaligus: Pertama, terjebak pada kalaim "negara sentris"--tanpa bisa membaca "kekuasaan bisnis", sebagai Leviathan baru. Kedua terjebak pada kajian dan aksi momentual, sikap dan posisi yang justru menjadi salah satu diantara--bagi kelancaran kekuasaan bisnis (Leviathan baru), maka tak jarang kita menemukan gerakan yang telah jauh dari fakta kehidupan sosial dalam konteks lokal.

"Bagaimana kekuasaan-Bisnis Lokal; Merenggut Tanah Para Petani Penggarap Kalasey Dua"

Pada titik ini tidak ada yang lebih baik dari mempertahankan fakta kehidupan di tengah-tengah gempuran Neoliberalisme: Kekuasaan-Bisnis. Mempertahankan Fakta kehidupan seperti mempertahankan fakta "kepengaturan rumah tangga", atau apa yang Xenophon dan Aristoteles artikan sebagai "Oikos-nomos". Yakni, Modal finansial (Money Capital) dan tenaga kerja (labour), yang selalu disyaratkan oleh keberadaan "Tanah" Bagi kepengaturan rumah tangga. Yang dimaksud "tanah" di sini, bukan sekedar situs produksi atau bahan mentah, tetapi partikukaritas spasial atau wilayah geografis tempat hidup komunitas kultural politis. Itulah patria (latin) bagi Tanah Air. (Harry-Priyono; 2020).

Hal inilah yang dirasakan oleh para petani penggarap Kalasey Dua. Di mana kekuasaan bisnis, telah menjadi fakta Determinasi "Fundamentalisme Pasar" dan "Etatisme-Politk"; sebuah fakta yang tumbuh dan menyatakan bahwa Negara hari ini merupakan pusat kekuasaan-Bisnis (Levhiathan baru). Hal ini lebih jelas saat dikeluarkannya SK. Hibah No.368 oleh Pemerintah Provinsi (Gubernur Sulawesi Utara), kepada Kementerian Pariwisata RI atas objek Tanah Masyarakat Kalasey Dua, SK Hibah Pemprov ke Kemenparekraf (untuk pembangunan Politeknik Parawisata). Padahal tahun 1986, Kementrian Pusat melalui kementerian dalam negeri (Kemendagri) RI menerbitkan surat keputusan (SK) Kemendagri No. 341/DIA/1986 sebagai objek redistribusi bekas HGU (pelaksanaan land Reform) atas tanah tersebut. Yang sebelumnya kekuasaan-Bisnis ini telah menanam luka kepada masyarakat ketika hampir keseluruhan tanah petani telah dihibahkan kepada BAKAMLA 6 Ha. BRIMOB 20 Ha. Beserta embel-embel janji yang diberikan.

"Melihat Pikiran-Pikiran Utuh para petani dalam melawan Kekuasaan-Bisnis (Perampas Tanah)"

Di hari keempat saya bersama Masyarakat dan kawan-kawan Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (Solipetra). Tidak cukup rasanya bagi saya--yang terlambat hadir bersama warga, jika tidak ikut mengarsipkan keutuhan semangat dan pikiran-pikiran para warga. Meski semangat itu masih pada bentuk penggalan-penggalan pengalaman yang didapatkan selama 4 hari "Fun-Work", menjelang perayaan Festival Pisang. Di sini saya benar-benar sedang di uji oleh kekayaan pengalaman dan perjuangan Masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline