Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah terkenal dengan corak pembaharuan dan modernisasi. Corak tersebut tidak terlepas dari landasan teologis yang mendasari arah gerak Muhammadiyah selama ini, yakni teologi Al-Maun.
Surat Al-Ma'un merupakan salah satu surat yang sangat populer dikalangan warga Muhammadiyah. Dari surat ini, bahkan terlahir apa yang dinamakan sebagai 'teologi Al-Ma'un', pikiran yang mendasari lahirnya gerakan amal dan khidmat sosial Muhammadiyah.
Surat Al-Ma'un di kalangan Muhammadiyah selaras dengan poin pertama dan poin kedua Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yaitu "Hidup manusia harus berdasar tauhid, bertuhan, beribadah serta tunduk dan taat kepada Allah SWT", dan "Hidup manusia itu bermasyarakat."
bagi warga Muhammadiyah, dan bagi murid-murid Kiai Dahlan, orang akan dianggap pendusta agama jika menghardik anak yatim, tidak menyantuni mereka, tidak membuat cerdas anak yatim, tidak membuat anak yatim menjadi orang-orang yang mandiri dari orang lain.
Selain mencerdaskan anak yatim, umat muslim juga akan disebut sebagai pendusta agama jika tidak peduli terhadap orang fakir-miskin atau bahkan jika dalam beribadah itu seseorang melakukannya karena riya' atau ingin mendapatkan citra yang baik dari orang lain.
ini yang kemudian jadi DNA Muhammadiyah, DNA Muhammadiyah adalah teologi Al-Ma'un. Yaitu orang yang senantiasa tidak menghardik anak yatim. Maka berdiri panti asuhan di manapun itu adalah dalam rangka tidak mendustakan agama.
Nilai terakhir dari pemaknaan Surat Al-Ma'un, adalah sifat inklusif. Yakni beramal baik untuk menolong siapapun tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan organisasi.
Teologi Al-Ma'un kemudian diartikan menjadi pilar-pilar kerja Muhammadiyah. Teologi yang didasarkan pada Al-Qur'an (107:1-7) ini seringkali diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu: healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Teologi ini pula yang membuat organisasi ini mampu bertahan hingga 100 tahun dengan memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan sosial yang lain.
Materi utama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 adalah pemahaman Surat al-Ma'un. Pada intinya, surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai 'pendusta agama'.
Berhari-hari Kiai Dahlan memberikan pengajaran materi ini ke murid-muridnya. Sampai sebagian dari mereka merasa bosan dan mempertanyakan mengapa Kiai Dahlan mengulang-ulang pelajaran dan tidak segera pindah ke materi lain. Mendengar pertanyaan itu, Kiai Dahlan balik bertanya, "Apakah kalian sudah paham surat ini? Apakah kalian sudah mempraktekkannya?" Kiai Dahlan lalu meminta murid-muridnya untuk mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian memandikannya dan menyuapinya. Inilah yang disebut pemahaman pertama dari teologi al-Ma'un itu.