COVID-19 memunculkan batasan dan masalah dalam kehidupan sehari-hari kita dengan intensitas dan bentuk yang berbeda-beda. Gender, etnis, identitas seksual, level sosio-ekonomi, profesi, dan berbagai faktor lain membuat kehidupan pada masa pandemi menjadi sangat berat dan bahkan mematikan bagi sebagian orang; sementara sebagian lainnya dapat melewatinya dengan relatif mudah.
Sistem pembelajaran berbasis daring yang menjadi keputusan internasional sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona ini meniumbulkan berbagai permasalahan didalam prosesnya.
Hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan system proses pembelajaran berbasis daring ini diantaranya adalah seperti kemampuan guru dalam mengoperasikan perangkat digital, ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki siswa, dan beberapa permasalahan yang ada didalam siswanya itu sendiri seperti motivasi belajar, komitmen, kedisiplinan dan lain-lain. Bagi beberapa pendidik menemukan kesulitan ketika ingin mengamati perkembangan siswa.
Dan bukan hanya persoalan pendidikan saja yang mengalami perubahan, hamper semua aspek kehidupan seperti ekonomi, social, budaya dan bahkan agama pun mengalami beberapa perubahan perubahan demi menyesuaikan kondisi yang dihadapi dunia ini.
Fenomena pembelajaran berbasis daring yang terjadi kerap kali merupakan tindakan penindasan dalam dunia pendidikan. Mengutip Paulo Freire yang ia sebut dehumanisasi, di mana siswa dipanndang sebagai objek yang wajib menerima apa saja yang diberikan oleh guru. Menurut Paulo Freire, pendidikan sejatinya haruslah membebaskan dan memanusiakan individu tersebut.dehumanisasi bagi Paulo Freire merupakan sebuah distorsi cita-cita untuk menjadi manusia yang utuh.
Apakah para pendidik melalui proses pendidikan telah turut membantu memanusiakan individu lain dan juga diri mereka sendiri? Atau apa justru para pendidik telah turut serta membantu melahirkan sebuah budaya yang eksploitatif antara manusia dengan manusia lain? Apakah para pendidik menyadari peran mereka dalam proses dehumanisasi? Apakah para pendidik telah turut melahirkan masyarakat kritis yang menjadi landasan sebuah demokrasi yang sehat? Atau sebaliknya?
Apakah para pendidik menyadari, melalui kegiatan mendidik yang mereka lakukan, telah memobilisasi pengetahuan yang sarat akan kepentingan, dan kepentingan itu memihak pada siapa? Yang pada akhirnya para pendidik turut mendefinisikan atau mengerucutkan apa yang dimaksud menjadi seorang manusia, apa yang menjadi sebuah tragedi kemanusiaan dan apa yang bukan, dan siapakah yang layak atau tidak layak untuk kita tujukan rasa empati ataupun apatisme kita?
Untuk mencapai pendidikan ideal yang dimaksud Freire, ia menekankan akan pentingnya konsientisasi atau kesadaran (penyadaran) yang merupakan inti dari pendidikan (Freire, 2007). Konsep konsientisasi dalam pendidikan humanis dimaksudkan untuk mengeluarkan manusia dari masifikasi: penjajahan harga diri; penjinakan kemampuan kritis manusia oleh situasi yang membuat manusia dijadikan massa, di mana kebebasan memilih hanyalah ilusi (Freira, 1984). Konsep konsientisasi menempatkan manusia sebagai subyek dalam kehidupan, artinya mampu mengekspresikan keinginan dan kreatifitasnya. Sehingga manusia mampu hidup sesuai dengan kodratnya yaitu manusia merdeka.
Freire berpendapat "Apa yang dibutuhkan", menurut Freire (1973), "adalah pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis". Ia kemudian selebihnya menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan peran mereka dalam konteks sosio-politiknya. Bukan sebuah pendidikan yang mengindoktrinasi, namun pendidikan yang emansipatoris.
Pelaksanaan pembelajaran daring di masa pandemi dilihat menciptakan celah (persoalan) yang harus diperbaiki. Benar bahwa di satu sisi, pelaksanaan pembelajaran daring dalam dunia pendidikan di masa pandemi telah menjawabi tantangan zaman, dengan adanya pemanfaatan teknologi digital dan tanpa melanggar protokol kesehatan. Namun, di sisi lain pelaksanan pembelajaran daring menciptakan celah persoalan penindasan, persoalan dehumanisasi kemunduran dalam kemanusiaan.
Apa yang dimiliki masyarakat Indonesia saat ini adalah pendidikan untuk pasifikasi. Untuk diam. Untuk bungkam. Pendidikan yang hanya melahirkan pion-pion irrasionalitas.