PRINGGITAN TEJA
sebuah kenangan
Mohamad Fatkhurohman
(Alumni Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan Angkatan tahun 1997)
Tejakusuma adalah nama sebuah pendapa yang bagi saya sangat ikonik. Pendapa ini adalah bangunan bersejarah di FBS UNY. Bangunan ini lebih tua daripada UNY, bahkan dari usia IKIP Yogyakarta, cikal bakal UNY. Bangunan ini salah satu peninggalan jaman ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) -Akademi ini adalah cikal bakal berdirinya ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, jadi sudah berumur cukup lama- menggunakan nama salah satu kerabat keraton GPH Tejakusuma yang merupakan pegiat seni tari.
Setiap hari, pendopo ini berfungsi sebagai tempat bebas yang dapat dijadikan sarana dari sekedar bertemu teman, berkumpul kelompok untuk mengerjakan tugas, kegiatan perkuliahan Seni Tari atau melakukan even seperti pertunjukan atau acara diskusi.
Di Tejo (begitu Pendopo ini sering disebut) mahasiswa bercampur menjadi satu tak ada perbedaan. Mereka dapat berkumpul tanpa memandang jurusan, semester dan asal daerah mereka. Budaya tidak memakai sepatu sudah menjadi tradisi ketika akan duduk di Pendopo Tejakusuma. Hal itu tentu tak lepas dari cara duduk di sini, lesehan. Pada umumnya lesehan akan menjadi tidak nyaman dan terkesan tidak sopan jika memakai sepatu.
Hampir saya pastikan setidaknya dua atau tiga kali seminggu saya akan duduk di sini. Menunggui seseorang yang sibuk melatih gerakan tangan dan kakinya bersama teman-temannya, sementara saya duduk lesehan di pojok membaca buku yang saya bawa dari perpustakaan pusat sambil mendengar alunan gending pengiring tari Jawa klasik (dari beberapa yang tak bisa kusebut satu persatu, saya sangat menyukai kalau ada iringan dan ada yang menari Golek Menak).
Sambil lesehan, sesekali saya menikmati irama dan gerakan tari klasik yang sangat luwes dan halus, terukur dan membutuhkan kelenturan yang cukup tinggi (catatan: saya lebih bisa menikmati tarian klasik daripada tari modern. Entah kenapa demikian, saya juga nggak tahu. Ikut apa kata hati saja).
Tempat ini mengenalkan saya pada indahnya pluralisme dan seni budaya yang adiluhung. Tempat ini mengenalkan saya pada seseorang, yang kelak dua tahun kemudian menjadi sosok yang sanggup membuatku tersungkur jatuh dan bersimbah luka. Pendeknya, bagi saya adalah sebuah pringgitan yang membawa berjuta kenangan dan kerinduan. Kenangan bernuansa pelangi dan bernuansa darah bertemu dan bersatu padu di sini. Di sinilah pertama saya mengenal rasa sakit yang membuatku tersungkur jatuh. Di sini pulalah kukenal sesuatu bernama penghianatan. (fat)
Referensi: Pendopo Tejokusumo, ikon FBS yang tak pernah sepi (artikel di laman http://fbs.uny.ac.id)