Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Faisal

Guru Matematika

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

Diperbarui: 5 Oktober 2024   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Melalui tahapan mulai dari diri hingga demonstrasi kontekstual di modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik. Saya mendapatkan pemahaman dan pengalaman melalui belajar mandiri, diskusi dan praktik terkait paradigma berpikir coaching yaitu berfokus pada coachee, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, dan mampu melihat peluang baru dan masa depan. Kemudian juga memahami prinsip berpikir coaching, yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. 

Selain hal tersebut terdapat kompetensi inti coaching yang harus dimiliki atau dikuasai oleh CGP yaitu, kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kemudian yang tidak kalah penting ada mendengarkan dengan RASA, yaitu Receive: menerima dan mendengarkan kata kunci, Appreciate: memberi apresiasi/sinyal mendengarkan, Summarize: rangkum kata kunci, dan Ask: mengajukan pertanyaan.

Percakapan berbasis coaching menggunakan alur TIRTA yaitu, Tujuan, Identifikasi, Rencana, dan Tanggung jawab. Kemudian dalam pelaksanaan supervisi akademik terdapat 3 tahapan, yaitu pra observasi, observasi, dan pasca observasi. Harapan dari pelaksanaan coaching untuk supervisi akademik ini akan meningkatkan kualitas pembelajaran, pengembangan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh guru/coachee dalam mencapai tujuan pembelajaran yang berpusat pada murid.

Setelah mempelajari madul 2.3, saya mengingat kembali kegiatan supervisi/observasi bersama kepala sekolah. Akhirnya saya mengerti bahwa langkah-langkah yang kepala sekolah lakukan mulai dari kegiatan pra observasi sampai pasca observasi menggunakan paradigma dan prinsip coaching. Berdasarkan pengalaman tersebut saya menjadi paham dan merasa optimis dalam menerapkan coaching saat melaksanakan supervisi akademik dengan rekan sejawat maupun pendampingan dengan murid.

Hal yang sudah berjalan dengan baik selama proses belajar adalah sesama rekan CGP saling memberi semangat dan giat berlatih praktik coaching, baik dalam ruang kolaborasi maupun diskusi di luar jadwal untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam penerapan TIRTA, Prinsip Coaching, dan mendengarkan dengan RASA. Kemudian dalam tugas demonstrasi kontekstual secara bergantian melaksanakan praktik coaching secara triad atau berganti peran sebagai supervisor, coach maupun coachee yang membuat kami merasakan pengalaman di berbagai posisi tersebut. Kemudian masukan dan saran perbaikan dari fasilitator dan pengajar praktik yang membangun, membuat saya semakin percaya diri dalam melakukan praktik coaching.

Hal yang perlu saya perbaiki terkait dengan keterlibatan dalam proses belajar, yaitu saat saya berperan sebagai coach, terkadang secara tidak sadar dapat memberi asumsi pribadi, mengaitkan dengan pengalaman pribadi, atau mengarahkan coachee dalam menemukan solusinya padahal tindakan tersebut harus dihindari atau tidak dilakukan. Kemudian saya harus mampu membuat pertanyaan terbuka yang berbobot agar mampu mengarahkan coachee untuk menggali solusi dan mencapai tujuan coaching melalui proses mendengarkan dengan RASA. Kemudian juga terkait hadir sepenuhnya dan membangun kedekatan agar coachee mau terbuka dalam bercerita.

Adapun keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi setelah mempelajari modul 2.3, saya mampu meningkatkan kompetensi coaching dengan menggunakan alur TIRTA. Bagi saya pribadi yang merupakan seorang introvert, tentu berbicara atau berdiskusi dengan orang lain merupakan hal yang diluar kebiasaan saya sehari-hari. Namun disini saya terus dilatih untuk dapat berkolaborasi, berdiskusi, memberi pendapat, dan berefleksi sehingga hal tersebut membuat saya lebih semangat untuk terus mengembangkan potensi, kompetensi sosial dan emosional yang saya miliki. Proses ini akan saya ikuti dengan sebaik-baiknya agar tujuan dalam mengikuti program guru penggerak ini dapat tercapai.

Mengapa guru harus memiliki kemampuan coaching?

Sesuai dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa tugas seorang guru adalah menuntun murid sesuai dengan kodratnya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Kata "Menuntun" disini sesuai dengan sistem among, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Senada dengan sistem among, dalam prinsip coaching guru memberikan tuntunan ke murid agar mereka tidak kehilangan arah dan menuntun mereka untuk menemukan potensi dirinya. Sebagai guru agar mampu mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, maka guru harus memiliki kompetensi coaching.

Proses coaching dengan alur TIRTA dapat dijadikan pedoman dan arahan oleh coach dalam memfasilitasi coachee untuk menyampaikan tujuan yang ingin didapatkan dari coaching serta mengidentifikasi permasalahan sampai menemukan rencana untuk solusi dari permasalahan tersebut. Melalui alur TIRTA coachee terlatih untuk berpikir terarah dan sistematis mulai dari apa yang ingin dicapai hingga apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks asal sekolah saya yaitu, ketika rekan sejawat/murid masih enggan bercerita terkait kendala atau hal yang dialaminya dengan jujur dan apa adanya dikarenakan belum terjalin kedekatan sebagai mitra dalam proses coaching tersebut. Sehingga coachee menjadi kesulitan dalam menemukan atau menentukan tujuan yang ingin dicapai. Keterampilan komunikasi yang efektif sebagai coach masih perlu ditingkatkan agar coachee mudah memahami maksud pertanyaan dan mudah memberikan tanggapan sehingga diskusi lebih berjalan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline