Belakangan ini, perhatian komunitas ilmiah bergeser kearah bahan herbal dan bahan rempah-rempah untuk memanfaatkan sifat antimikrobialnya yang digunakan sebagai pengawet makanan alami. Secara serentak, konsumen juga menuntut makanan dengan umur simpan yang lama dan bebas dari resiko yang dapat menyebabkan penyakit food borne. Begitu juga yang dikembangkan oleh Dosen Prodi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Vokasi Undip, yakni Mohamad Endy Yulianto dan Dr. Ria Desiriani, ST, MT serta Mahasiswanya Malika Pintanada Kaladinanty
Endy menyampaikan bahwa industri pangan modern secara progresif akan menggantikan pengawet kimia dan mengadopsi alternatif alami dari sumber lain yang terkait dengan keamanannya terhadap mikroba. Salah satu strategi yang memungkinkan adalah lokalisasi senyawa phytokimia bioaktif berbasis rempah-rempah.
Rempah-rempah herbal telah ditambahkan kedalam makanan sejak jaman dulu kala, tidak hanya berfungsi sebagai flavour tetapi juga sebagai pengawet makanan dan bahan pengobatan tradisional. Ekstrak dari berbagai rempah-rempah herbal telah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir karena sifat antioksidan dan antimikrobialnya, papar Endy.
Endy mengungkapkan bahwa aktivitas mikrobial rempah-rempah herbal yang biasa dipakai seperti daun salam, menjadi dasar berbagai aplikasi termasuk pada pengawetan bahan makanan mentah dan bahan makanan yang telah diproses lebih lanjut, aplikasi pada bidang farmasi, pengobatan alternatif serta terapi alami.
Sementara Ria juga menyampaikan bahwa analisa kualitatif senyawa phitokimia dari rempah-rempah daun salam mengungkap adanya komponen-kompenen alkaloids, cumarins, flavonoids, saponins, terpenes dan tannins yang relatif tinggi dan bersifat sebagai antomikrobial. Ekstraksi termal senyawa phitokimia bioaktif dari daun salam telah dilakukan pada berbagai pelarut. Namun demikian, perolehan ekstrak pada proses konvensional ini masih belum memadai.
Hal ini terjadi karena ekstraksi konvensional telah mencapai batas alami (setimbang) dan tidak dapat ditingkatkan laju prosesnya ataupun yieldnya. Selain itu, sebagian senyawa phitokimia bioaktif telah mengalami degradasi termal karena kondisi proses ekstraksi, sehingga efisiensi proses ekstraksi relatif rendah. Namun demikian, sebagai bahan alamiah, pemanfaatan pengawet makanan berbasis herbal jelas lebih ramah lingkungan dibanding bahan kimia industrial, ujar Ria.
Malika memaparkan bahwa pengembangan ekstraksi non termal senyawa phitokimia bioaktif daun salam dengan memanfaatkan gelombang listrik merupakan salah satu opsi yang tepat. Pemilihan ekstraksi non termal gelombang listrik karena didasari pada mekanisme medan listrik yang unik, yaitu: aliran arus listrik melalui pelarut, mengekstrak senyawa dari daun salam dengan prinsip elektrodialisis. Substansi yang diekstrak dikonversi kedalam spesies yang terionisasi melalui aksi arus listrik menembus membran semipermeabel, seperti dinding sel tanaman.
Medan listrik diduga menyebabkan terjadinya electroporasi pada membran sel (efek primer) dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel secara mekanis (efek sekunder). Oleh karenanya, yield senyawa phitokimia bioaktif meningkat pada daerah arus listrik tertentu yang disebabkan oleh meningkatnya difusi internal dari sel tanaman. Temperatur dan waktu perlakuan termal juga dapat diturunkan. Dengan menggunakan medan listrik, senyawa phitokimia yang terdapat pada daun salam dapat terekstrak secara maksimal sehingga bisa diaplikasikan dalam produk pangan, tutup Malika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H