Lihat ke Halaman Asli

π™”π™–π™’π™žπ™£ π™ˆπ™€π™π™–π™’π™–π™™

TERVERIFIKASI

Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Bersepeda, Sisi Lain di Balik Rasa Lelah

Diperbarui: 7 Oktober 2024 Β  12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bersepeda (Sumber gambar: Pixabay)

Memulai kebiasaan baru memang berat. Apalagi ketika sudah terbiasa hidup tanpa aktivitas fisik yang cukup berarti.

Itulah yang saya rasakan dalam seminggu terakhir ini saat pergi sekolah. Jika minggu tak terhitung sebelumnya saya pergi ke sekolah menggunakan kendaraan bermotor, dalam seminggu terakhir ini saya beralih menggunakan sepeda.Β 

Sebagai pesepeda dadakan, bagi saya bersepeda ke sekolah cukup berat. Padahal jarak perjalanan yang harus saya tempuh hanya sekitar 2 km. Karena tidak terbiasa, bersepeda memaksa saya harus berjuang keras beradaptasi dengan pola baru berkendara.

Jika sebelumnya saya memerlukan energi dari BBM, dengan bersepeda saya harus menguras energi fisik saya sendiri untuk sampai di sekolah.

Sebenarnya jalan menuju sekolah secara keseluruhan relatif datar. Kecuali di beberapa titik, jalan kampung itu berupa tanjakan kecil. Tantangan bersepeda bagi saya terletak pada kondisi sebagian besar jalan yang kurang bersahabat. Memang tidak seluruhnya. Sekitar 500 meter salah satu ruas jalan yang saya lalui sudah dilapisi hotmix.

Selebihnya ruas jalan itu termasuk sangat rusak dan memprihatinkan. Kerusakannya sudah mencapai keparahan yang mendekati sempurna. Sekujur badan jalan compang-camping. Kerikil berserakan pada permukaan jalan. Keadaan itu berpotensi membuat roda terpeleset.

Permukaan jalan yang bergelombang membuat pengguna harus hati-hati dan memilih mengarahkan roda ke bagian jalan yang lebih baik. Maka tidak jarang pengendara harus mengambil jalur orang lain untuk mencari kenyamanan berkendara.

Jalan itu memang telah mengalami pengaspalan (mungkin) 7 atau 8 tahun yang lalu menggunakan aspal cair. Orang-orang di kampung saya menyebutnya dengan aspal serabi.

Disebut demikian karena proses pengaspalan dilakukan dengan cara disiram dengan aspal cair yang sedang menididh setelah permukaan jalan dilapisi sirtu (pasir dan batu). Teknik ini mirip dengan penyiraman cairan gula merah di atas hamparan serabi yang telah dibubuhi parutan kelapa.

Kerusakan jalan tergolong cepat dalam rentang 7-8 tahun. Padahal idealnya kelayakan jalan aspal bisa bertahan sampai 18 tahun jika pengaspalan sesuai dengan prosedur yang benar. (Sumber www.ayresassociates.com)Β 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline