Semalam saya menghadiri tahlilan atas meninggalnya salah seorang keluarga. Rumahnya berada di kampung sebelah yang tidak jauh dari rumah saya.Β
Sekitar pukul 20.30 waktu setempat saya keluar menembus malam dengan kuda besi tua yang telah membersamai saya selama belasan tahun. Dalam perjalanan menuju lokasi tahlilan saya singgah di rumah teman yang juga berniat menghadiri acara yang sama.Β
Kehadiran saya semalam merupakan kali kedua selama tahlilan sampai malam kedelapan dari sembilan malam yang biasa dilakukan. Sebelumnya saya sempat menghadiri tahlilan pada malam kedua.Β
Salah satu kebiasaan tahlilan atau acara serupa di kampung adalah tuan rumah menyediakan tembakau dan kertas rokok yang ditempatkan di atas piring atau wadah tertentu. Tembakau menjadi semacam jamuan yang hampir wajib disiapkan tuan rumah walaupun tetamu tidak menuntut. Biasanya bahan baku rokok itu disiapkan oleh keluarga atau kerabat dekat sebagai bagian dari bantuan untuk keluarga yang ditinggalkan.
Sambil menunggu acara tahlilan dimulai, warga yang sudah hadir biasanya akan membuat rokok lintingan dari tembakau yang disediakan. Bayangkan saja bagaimana asap rokok itu mengepul dari sebagian besar mulut warga yang hadir di bawah tetaring (semacam tenda yang dibuat dengan tiang bambu dan beratap daun kelapa atau terpal).
Usai tahlilan salah seorang kerabat menyampaikan bahwa dalam acara tahlilan tuan rumah tidak menyediakan tembakau atau rokok. Alasannya untuk menghormati almarhum yang semasa hidupnya tidak merokok.
Pengumuman itu membuat sejumlah kerabat lain menggerutu. Sebagian besar keluarga keberatan dengan permakluman itu. Akan terasa ganjil kalau rokok tidak disediakan. Apalagi bukan keluarga yang ditinggalkan yang harus menyiapkan tembakau. Banyak keluarga dan kerabat dekat yang siap membantu menyiapkan tembakau. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang sangat dihormati.
Apa yang terjadi pada malam kedua tahlilan di atas menunjukkan bahwa rokok ditempatkan sebagai simbol sosial. Kegiatan sosial seperti acara tahlilan dan acara serupa seakan tidak lengkap tanpa menghadirkan rokok. Tidak menyediakan rokok untuk tetamu akan dianggap pelit oleh warga.
Usai tahlilan saya pulang. Saya berhenti di persimpangan menuju rumah saya sambil menurunkan teman yang menumpang tadi. Saat berhenti, sekelompok remaja belasan tahun datang menghampiri saya. Mereka menyalami dan mencium tangan saya.Β
Anak-anak itu ternyata murid-murid saya saat mereka masih duduk di bangku SD. Sambil bersalaman di sela-sela jemari mereka terselip rokok yang tengah membara dan mengepulkan asap putih. Mereka juga baru pulang tahlilan seperti saya.
Sebagian besar kita yang hidup di kampung telah lahir dan dibesarkan dalam tradisi merokok. Di kehidupan kampung, hampir semua orang merokok, dari anak-anak muda, kelompok dewasa, sampai para manula. Kecuali anak-anak di bawah umur dan para perempuan. Di kampung saya sampai sekarang, perempuan perokok kerap mendapatkan stigma negatif, perempuan tak berakhlak atau sedang mengalami gangguan psikologis tertentu. Perempuan yang merokok identik dengan citra yang kurang baik. Saya tidak tahu entah dari sudut pandang apa sampai muncul anggapan seperti ini.