Lihat ke Halaman Asli

π™”π™–π™’π™žπ™£ π™ˆπ™€π™π™–π™’π™–π™™

TERVERIFIKASI

Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Ramadhan Itu Anak Kecil yang Tantrum

Diperbarui: 28 Maret 2023 Β  07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dor.... Dor... dor..."

Suara ledakan petasan saat puasa Ramadhan menjadi salah satu khas yang telah mentradisi. Entah sejak kapan petasan bermula menjadi sebuah tradisi. Meledakkan petasan sepertinya telah menjadi salah satu cara sebagian dari kita mengekspresikan euforia dalam menjalani Ramadhan.

Bunyi petasan itu menyentak kesadaran si bungsu, anak ketiga saya yang baru memasuki usia lima tahun.

"Mercooon!" teriaknya histeris.

Belum sempat dihalangi anak itu sudah melesat keluar rumah. Dia berlari ke arah datangnya sumber suara petasan. Beberapa meter dari rumah sekumpulan bocah sebayanya tengah menyalakan petasan. Ledakan petasan itu diiringi teriak kegirangan mereka sambil meloncat-loncat mentertawai suara ledakan yang mereka produksi. Dasar bocah!

Begitulah. Setiap kali mendengar petasan dia dengan sigap akan keluar berlarian mencari sumber suaranya. Dia tidak dapat dilarang. Sejak awal Ramadhan, tidak kenal siang dan malam, hujan dan panas, meledakkan petasan baginya menjadi sebuah hiburan paling penting.

Pernah sekali dia mendengar ledakan lalu berlari untuk mencari sumbernya tetapi dia tidak menemukan siapapun. Ternyata suara ledakan itu berasal dari gardu listrik di seberang jalan.

Anak itu memang suka melakukan hal-hal berbahaya. Kadang dia memanjati sebatang kakao di halaman rumah lalu terjun setelah mencapai ketinggian tertentu tanpa berfikir harus mendarat di titik dan cara yang tepat. Pada saat yang lain dia membawa korek ke mana-mana dan membakar plastik atau apa saja yang bisa dibakar. Semenjak Ramadhan, dia memilih petasan menjadi mainan rutinnya.

Suatu sore menjelang Maghrib ketika hujan gerimis dia berlari membawa selembar uang dua ribuan ke arah kios seberang jalan. Dapat dipastikan dia hendak membeli petasan. Saya segera membuntutinya. Beruntung kios itu sudah tutup.

Dia dan anak-anak sebayanya, secara umum, memang belum sepenuhnya memahami bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku bermain api dan petasan. Beberapa kali tangan dan kakinya tersengat api. Tetapi tidak membuatnya jera. Memar di dengkulnya terlihat silih berganti akibat terjatuh saat saat berlari, melompat, atau memanjat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline