Daunnya yang rimbun menciptakan keteduhan di depan rumah. Cabangnya menjalar menghampari para-para yang dibuat sebagai media rambat.Β
Batangnya ditanam di sisi depan teras. Ayah membuatkan bak khusus untuk menanamnya. Beliau sendiri yang merancangnya dengan bahan batu bata puing bangunan tak terpakai.Β
"Ayah mau buat apa?" saya bertanya saat beliau tengah mengerjakannya beberapa waktu yang lalu, saya tidak ingat tepatnya.
"Tempat bertanam", katanya singkat.
"Tanam apa?"
Beliau diam. Hanya napasnya terdengar mengikuti irama gerak tangan dan tubuhnya yang sedang bekerja.
"Bunga. Mungkin bunga," Ayah memberikan jawaban tanpa menoleh.
"Bunga jenis apa?"
"Nanti saja kita lihat."
Dua hari kemudian bak itu sudah dijejali dengan timbunan tanah. Timbunan paling atas dilapisi pupuk kandang.
"Ayah dapat darimana kandang?" saya membuka obrolan. Kami biasa duduk di teras rumah sambil berbagi rokok.
Ayah tidak langsung menjawab. Beliau mengangkat gelas kopi di atas meja. Sebatang rokok terselip dijemarinya. Dihisapnya dalam-dalam benda berbentuk tabung itu perlahan. Saya melakukan hal yang sama. Minum kopi dan mengisap rokok.Β
Sesaat kemudian asap putih mengepul dari mulut Ayah dan mulut saya. Dua laki-laki, ayah dan anak, sama-sama penikmat zat aditif bernama tar dan nikotin.Β
Keduanya sudah tahu bahwa rokok bukan sesuatu yang baik untuk kesehatan. Banyak efek menakutkan yang dapat ditimbulkan. Mulai dari gangguan paru-paru, kanker, sampai impotensi.