Tulisan ini tidak bermaksud politis. Saya hanya ingin berbagi kisah yang bisa jadi dalam kisah itu ada pesan dan nilai moral yang bisa diteladani.
Nama kecilnya Muhammad Zainul Majdi. Saya pernah bersama nyantri dan menjadi teman sekelas di bangku madrasah tsanawiyah selama 1 tahun. Saat Majdi masuk kelas 1 madrasah, saya sedang berada di tahun ke dua. Ketika saya naik ke kelas 3 dia juga ikut kelas 3 tanpa pernah duduk di bangku kelas 2.Β
Kemampuan istimewanya membuat guru memutuskan agar Majdi dinaikkan ke kelas dengan meloncat-loncat. Selepas Tsanawiyah Majdi melanjutkan ke Aliyah di tempat yang sama. Kemampuan istimewa itu juga yang membuat Majdi mampu memadatkan waktu sekolah 3 tahun di madrasah Aliyah menjadi 2 tahun.
Majdi adalah anak dari pasangan Jalaludin dan Siti Rauhun. Dari garis ibunya Majdi lahir dari ulama besar dan kharismatik di Lombok, Tuan Guru Kiai Haji Zainuddin Abdul Majid. Sang Kakek merupakan pendiri organisasi NW, sebuah ormas Islam terbesar di Lombok, NTB. Berkat jasa-jasanya dalam dunia pendidikan dan dakwah, Tuan Guru Kiai Haji Zainuddin Abdul Majid ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional.
Sebagai cucu seorang ulama besar dan keluarga terpandang, Majdi tidak serta merta menjadi remaja mentang-mentang. Masa kanak-kanak dan remaja Majdi saya kenal sebagai pribadi yang suka bergaul, ramah dan murah senyum. Dia tumbuh menjadi pribadi yang suka berteman dengan siapa saja. Majdi berbaur dalam kehidupan santri yang tinggal di lingkungan pesantren milik kakeknya. Pergaulannya lentur, tidak eksklusif.Β
Saat libur sekolah, Majdi biasanya bermalam di rumah teman-teman sesama santri yang rerata anak pondokan. Dalam banyak kesempatan dia sering mengenang tentang kesederhanaan santri pada jamannya, tentang bangunan pondok seadanya, tentang makanan dengan menu pondok yang sangat sederhana.
Zainul Majdi menyelesaikan kuliahnya Universitas Al-Azhar, sebuah perguruan tinggi tertua di negeri Paman Sadat. Di al-Azhar Majdi menempuh pendidikan sarjana sampai doktoral pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qurβan. Pulang dari Mesir Majdi mengikuti jejak sang Kakek menjadi pendakwah dari satu kampung ke kampung lain. Pemahamannya yang luas tentang agama, kemampuan orasi, materi dakwah yang menawan, membuat Majdi menjadi ulama yang sangat cepat populer di awal kepulangannya. Majdi menjadi sosok pendakwah yang memberikan kesejukan di hati umat.Β
Majdi pulang kampung ketika organisasi NW sedang mengalami kehilangan panutan utama atas meninggalnya Tuan Guru Kiai Haji Zainuddin Abdul Majid, pendiri NW itu sendiri. Sejak kepergian sosok paling sentral dalam tubuh organisasi itu, masyarakat NW seolah kehilangan pijakan, kehilangan seseorang sebagai tempat berlindung. Masyarakat NW seperti sekumpulan anak-anak yang kehilangan orang tua yang selalu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang dihadapi.Β
Dalam momen itulah Majdi hadir menjawab perasaan kehilangan masyarakat NW dan umat Islam di daerah setempat. Kehadiran Majdi di berbagai arena dakwah seolah menjadi magnet bagi masyarakat NW dan umat Islam di Lombok khususnya. Dalam setiap ceramahnya umat Islam melepaskan atribut organisasinya dan melebur dalam massa untuk mendengarkan ceramah keagamaan Majdi. Masyarakat NW melihat sosok sang Kakek dalam diri Majdi. Hal itu membuat masyarakat menyematkan gelar istimewa dengan sebutan TGB (Tuan Guru Bajang). Tuan guru merupakan sebutan terhormat untuk pemuka agama dalam masyarakat Sasak dan bajang berarti muda. Itulah awalnya Majdi kemudian lebih dikenal dengan TGB.
Dalam perjalanan waktu, rupanya Majdi merasa tidak cukup berdakwah melalui panggung atau podium saja. Majdi menolak anggapan bahwa ulama hanya memiliki jalan dakwah melalui mimbar-mimbar, beramar maβruf dan bernahi mungkar sebatas melalui majlis taklim saja.Β