Lihat ke Halaman Asli

π™”π™–π™’π™žπ™£ π™ˆπ™€π™π™–π™’π™–π™™

TERVERIFIKASI

Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Salesmen dan Rasa Sesal

Diperbarui: 6 April 2022 Β  23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi pngtree

Seseorang mengucap salam ketika saya baru saja meletakkan kepala suatu siang. Salamnya diulang terus menerus membuat saya bangkit dan membuka pintu.

Seorang anak muda berdiri di pinggir teras. Tubuh kecil, kulitnya cenderung gelap, tetapi wajahnya cukup manis. Tatapan matanya memberikan kesan sebagai pribadi yang mandiri dan penuh semangat. Dia mengenakan celana formal hitam, baju putih kembang-kembang. Kakinya dibalut sepatu hitam pantofel. Penampilannya saja sudah menjelaskan bahwa dia sedang menjalankan tugas sebagai seorang sales.

"Mohon maaf, bisa minta waktunya sebentar?" sebuah kalimat tanya menyeruak dari bibir mungilnya, sebanding dengan tubuhnya yang mungil.
"Ada apa?" saya meresponnya agak ketus.
"Sosialisasi, Pak!" katanya refleks.
"Sudah dapat ini?" lanjutnya sambil mengangkat kotak kemasan di tangan kirinya.
"Belum", saya masih merespon dengan sikap awal. Efek ngantuk karena baru pulang setelah keluar rumah untuk menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan.
"Anak ini mau jualan," pikir saya.
"Maaf tidak bisa. Saya baru pulang. Mau istirahat," saya mencoba memberikan pengertian dengan suara merendah.
"Dua menit saja," katanya penuh harap.
"Tidak bisa. Silakan cari yang lain saja!" saya kembali melemparkan nada Β ketus. Saya membalikkan badan, menutup pintu rumah dan kembali tidur.

Dalam beberapa tarikan asap rokok saya belum bisa tidur. Entahlah. Wajah anak muda itu seperti terus memohon. Pikiran saya dengan tiba-tiba memposisikan diri saya sebagai anak muda itu.Β 

Sejumlah pertanyaan menyeruak dalam pikiran saya. Β Bagaimana kalau saya menjadi anak muda itu? Bagaimana perasaanya saat ditolak ketika dia harus memenuhi ambisi perusahaan mencapai target penjualan. Bisa jadi anak itu sudah berjalan seharian. Mungkin saja dia tengah berjibaku melawan rasa lelah di balik semangatnya memenuhi ambisi perusahaan.

Ada rasa bersalah dengan sikap saya siang itu. Terutama saat saya menutup pintu dan masuk tanpa menoleh. Maafkan saya anak muda. Hari itu saya agak capek dan ngantuk. Sekali lagi maafkan. Saya berharap bisa bertemu di lain waktu dan berkesempatan mendengarkan suaramu.

Maafkan saya Ibu.

Lombok Timur, 06042022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline