Meski hidup di kota yang dijuluki sebagai kota pahlawan dan konon memiliki seorang wali kota yang tersohor akan kepiawaiannya dalam memimpin, tak semata-mata membuat keadaan yang ada di kota Surabaya sepenuhnya aman dan tentram. Setidaknya itulah hal saat yang kini dirasakan oleh para pengemudi ojek online di kota Surabaya.
Perseteruan antara ojek online dengan angkutan umum konvensional tidak lain adalah penyebabnya. Meskipun berbagai solusi telah ditawarkan oleh kementrian perhubungan untuk mengatasi hal tersebut. Namun fakta dilapangan telah meberikan jawaban atas solusi-solusi tersebut.
Sejak boomingnya pemeberitaan mengenai hadirnya angkutan online yang dapat di pesan melalui ponsel android, masyarakat mulai berbondong-bondong beralih ke transportasi yang sering memberikan diskon kepada pelangganya tersebut. Hal itu pula yang akhirnya membuat para angkutan umum konvensional merasa tersaingi. Para sopir angkutan beranggapan bahwasannya para ojek online yang telah membuat pendapatan mereka menjadi turun drastis. Dimulai dari situlah keadan antara ojek online dan angkutan umum konvensional mulai memanas.
Sering sekali terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri yang dilakukan salah satu pihak terhadap pilak satunya. Seperti halnya demonstrasi besar-besaran oleh pihak angkutan umum agar ojek online dibubarkan. Tak hanya itu saja, tindakan secara fisik juga sering dirasakan oleh para pengemudi ojek online seperti pengeroyokan dan lain sebagainya.
Saking takutnya dengan hal-hal tersebut, mereka menjadi takut memakai atribut ketika sedang mencari penumpang di derah sekitar fasilitas umum seperti terminal, stasiun dan sebagainya. "Jangankan untuk bertegur sapa, untuk saling bertanya saja pengemudi ojek online tidak berani untuk bertanya pada pihak angkuatan umun" ujar HS salah seorang penegemudi ojek online. Hal ini karena pihak angkutan umum tidak segan-segan melakukan kekerasan jika pengemudi ojek online dianggap telah melanggar kawasan mereka.
Menurut HS "resiko yang ada tidak sebanding dengan apa yang ditanggung perusahaan, para anggota dari dari ojek online hanya diberi asuransi ketika meraka mengalami kecelakaan. Sedangakan untuk mengenai tindakan seperti pengeroyokan atau yang lain itu sepenuhnya ditanggung oleh pihak pengemudi sendiri".
Harapanya pihak yang berwenang dalam bidang ini dapat memberikan solusi yang tepat dan terbaik agar hubungan antara ojek online dan pengemudi angkutan konvensional segera membaik. Pada akhirnya semoga perseteruan cepat terselesaikan dan tanpa ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Surabaya, 23 November 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H