Manusia adalah makhluk yang berakal yang mampu menuangkan ide dan pemikiran dalam bentuk cipta, karya dan karsa. Penciptaan karya tersebut tentu menimbulkan efek masif bagi kehidupan di sekitarnya. Dewasa ini, kita melihat kemajuan Teknologi dan Informasi yang semakin cepat dan tak terkendali sehingga menimbulkan disruptif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita mungkin telah merasakan perubahan-perubahan yang diawali perkembangan teknologi dan informasi. Berawal dari Revolusi Industri di abad ke-18 ditandai oleh penemuan mesin uap oleh James Watt dari Inggris. Penemuan mesin tersebut menandai terjadinya perubahan secara drastis di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang menyeluruh terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia.
Setelah itu terjadilah Revolusi industri 2.0 di awal abad ke-20. Kala itu ada pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Lini produksi pertama melibatkan rumah potong hewan di Cincinati pada 1870. Kemudian Pada awal tahun 1970 disinyalir sebagai penanda kemunculan revolusi industri 3.0. Dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia sehingga biaya produksi lebih murah.
Hingga akhirnya kini di awal abad ke-21 muncul sebuah konsep revolusi industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Ekonom terkenal asal Jerman itu menulis dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja manusia. Sebuah pernyataan yang tentu membuat warga dunia menaruh perhatian dan ingin tahu seperti apa revolusi itu akan berjalan. Revolusi ini berawal dari Revolusi Internet yang terjadi di tahun 90'an.
Hal ini ditandai dengan munculnya istilah "Internet of Things" yang dampaknya kini mulai dirasakan oleh masyarakat global seperti kemudahan dalam beraktivitas contohnya layanan transportasi online ataupun inovasi yang tidak pernah berhenti seperti smartphone, smart TV dan furnitur rumah tangga
Akan tetapi dibalik hal tersebut muncul kekhawatiran mengenai masa depan manusia setelah terjadinya revolusi 4.0. Kekhawatiran terbesar adalah bakal tergantinya tenaga manusia akibat integrasi antara dunia digital dan dunia industri. Terlebih di Indonesia sektor manufaktur dan industri padat karya masih mendominasi sehingga akan berdampak negatif apabila itu benar terjadi. Apabila terjadi apa yang dapat kita harus kita persiapkan dan lakukan agar kita tidak tergeser oleh masuknya komputer super dan kecerdasan buatan atau AI?
Seperti ungkapan penulis di awal bahwa manusia adalah makhluk berakal yang bakal berusaha mengatasi masalah pelik atau prahara dalam hidupnya. Atas dasar itu kita yakin bahwa robot ataupun alat yang diciptakan manusia tidak akan mengalahkan sang pembuatnya. Satu dari beberapa cara yang mampu dilakukan ialah melalui dunia pendidikan yang bakal mendidik para tunas bangsa. Nelson Mandela berkata "Pendidikan adalah senjata paling kuat yang dapat kalian gunakan untuk megubah dunia" dapat kita tafsirkan bahwa pendidikan merupakan solusi bagi suatu bangsa untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Pendidikan suatu proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekumpulan manusia yang diwariskan dari satu genereasi ke generasi selanjutnya melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Berkaitan dengan revolusi industri 4.0 menjadi sebuah keharusan bahwa pendidikan harus mengalami revolusi dan menunjukkan perannya di masyarakat. Generasi muda harus mendapatkan pembelajaran berkualitas dan komprehensif sehingga mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Satu dari konsep yang menarik diajarkan adalah kemampuan dalam komunikasi, kolaborasi dan networking bagi setiap siswa/i. Kita menyadari bahwa saat ini kemampuan berinteraksi semakin menyusut disebabkan interaksi virtual yang marak di kalangan muda.
Interaksi virtual menyebabkan generasi muda menjadi dingin dalam berinteraksi, kurangnya sikap empati dan cenderung menjadi pribadi individualistis. Padahal, kita sadar bahwa kemampuan bersosialisasi merupakan modal besar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dari sebab diatas, penulis meyakini bahwa pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan bersosialisasi menjadi penting. Selama ini kita melihat bahwa pendidikan di Indonesia terkesan berfokus pada kecerdasan kognitif.
Hal itu terlihat melalui pandangan apabila seorang siswa/i yang tidak pandai matematika merupakan siswa yang bodoh dan tidak mempunyai masa depan cerah. Selain itu masyarakat mudah menolerir apabila orang pandai berbuat pelanggaran terhada norma-norma sosial selama dia berprestasi. Darisana kita dapat menarik benang merah tenyata kecerdasan IQ dipandang lebih tinggi ketimbang etika maupun kemampuan bersosialisasi.
Berangkat darisana pula kita menyadari bahwa pendidikan yang selama ini berlaku harus diubah sehingga siswa/i dapat menjadi lebih utuh sebagai seorang manusia. Beberapa kesempatan yang lalu, penulis mendapat kesempatan berinteraksi dengan siswa/i dari Sekolah Alam Indonesia. Sebagian besar dari kita mungkin mengernyitkan dahi ketika mendengar nama instansi tersebut. Menjadi sebuah kejadian logis mengingat sekolah ini bukanlah sekolah milik pemerintah ataupun sekolah yang mengadopsi kurikulum internasional.