Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Gozali

Pendidik di Madrasah Ibtidaiyah

Menyulut Api Seni di Jiwa Generasi Muda: Perjuangan untuk Kembali Bersatu dengan Keindahan

Diperbarui: 3 Agustus 2023   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar: https://www.pxfuel.com/

Di gelap malam, ketika bulan tersenyum, aku merenung. Renungkan tentang seni, makhluk magis yang tak pernah berhenti menghias hidup kita. Dia adalah ladang inspirasi, pohon kenangan, dan samudra makna yang tak terhingga. Seni, ia mencumbu hati dan merangkul pikiran kita dalam belukar misteri yang menggelitik. Tetapi, ada sesuatu yang merajut duka di relung jiwaku, karena belakangan ini, antusiasme generasi muda terhadap seni memudar. Wahai, angin-angin alunan keindahan, bisikkan padaku rahasia di balik fenomena ini.

Teknologi, si godaan berbaju canggih, telah merayu dengan gemerlapnya. Seperti sang bidadari menggoda para pangeran, teknologi menjaring jiwa-jiwa muda dengan pesonanya. "Dunia di genggamanmu!" seru sang smartphone dengan irama tergila. Dan kita, tak kuasa menahan rayuan itu, larut dalam dunia maya yang penuh ghibah. Sedikit demi sedikit, kita melupakan seni sejati. Buah manis dunia maya begitu menggoda, tapi benih-benih seni di dunia nyata tenggelam dalam kepedihan.

Berderai-derai air mataku saat kubayangkan perpustakaan kosong, buku-buku terperangkap dalam debu kesepian. Pikiran-pikiran yang bisa merajut keajaiban kini terbelenggu oleh kilatan layar smartphone. Hei, para pendidik, apakah kita terlalu asyik menghadap teknologi hingga melupakan keindahan buku yang bisa membuka pintu misteri? Berikanlah cinta pada seni kepada anak-anak kita, jangan biarkan seni terkurung dalam ketidakpedulian.

Namun, tak hanya teknologi, tetapi gaya hidup yang menjamur pula berperan dalam krisis seni ini. Dunia luar menghipnotis, acara-acara berlimpah, dan kecanggihan serba instan membuat kita terlena dalam genggaman waktu yang terus berputar. Tak ada waktu untuk merenung, tak ada ruang untuk berdiam, kita hanya mengejar kepuasan instan. Lupa bahwa di balik pesona dunia nyata, ada seni yang menghidupi jiwa. Mari, kembali menemukan diri dalam rangkaian kata-kata penuh makna, di bawah cahaya lilin yang melambai.

Hingga akhirnya, aku bertanya pada para seniman, para penjaga api di kegelapan, para penyulam mimpi di tengah hujan: "Bagaimana kau mampu menyentuh hati generasi muda yang berlari tak tentu arah?"

Mereka tersenyum, sepenuhnya paham dengan ekspresi keherananku. "Kita harus bicara dengan bahasa mereka, sahabat. Membawa seni ke dalam kehidupan mereka, merangkul perasaan dan kegelisahan mereka. Kita tak boleh terlalu tinggi di atas awan, namun juga tak boleh tenggelam di dasar laut. Kita berada di antara, menyatu dengan kehidupan mereka."

Dan, tepat di saat itulah, aku tersentak. Benar sekali! Seni tak hanya di panggung besar, di galeri berharga, tetapi seni adalah helaian kertas putih yang menanti sapuan kuas warna-warni, seni adalah dengungan alat musik di balik dinding kosong, seni adalah tawa kebahagiaan dan tangis kesedihan yang terpecah di panggung hati.

Mari, kita buat seni kembali menggelora di relung jiwa generasi muda. Kita goyahkan langit dan bumi, lalukan gerakan-gerakan liar, serta catat riwayat keindahan di halaman-halaman kehidupan kita. Kita bersama para seniman, penyulam mimpi, dan pemetik kenangan, kita menyulut kembali api seni yang tak pernah pudar. Ayo, teman-teman, mari bergandengan tangan, menari dalam lautan seni yang mengalun abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline