Lihat ke Halaman Asli

Dokter Keluarga Ujung Tombak BPJS

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tersenyum. Menyimak. Itu yang dilakukannya menanggapi laporan mingguan pagi itu. Yang menyampaikan laporan terlihat antusias namun sebagian pembicaraan sulit ditangkap dengan jelas. Masalah artikulasi, karena harap maklum pelapor sudah lansia sebagian gigi penunjang organ bicara sudah lama tidak ada. Penerima laporan tetap tersenyum dan sepertinya komunikasi pagi itu berjalan sukses, terlihat ketika keduanya tertawa ceria.

Itu sebagian dari adegan pagi hari yang cerah di lapangan olah raga Komplek Perumahan Astiri Permai, Bogor. Minggu pagi adalah jadwal rutin bagi para warga terutama para lansia untuk melaksanakan senam pagi. Kegiatan ini sebenarnya diperuntukkan bagi penderita diabet, tapi ya karena antusiasme warga lumayan besar, akhirnya diputuskan siapa saja boleh ikut serta. "Tadi saya menerima laporan dari ketua kelompok, beliau sudah pensiun cukup lama tapi semangatnya luar biasa," ujarnya kembali tersenyum. Yang punya senyum adalah dokter Elis Tiahesara penggagas kegiatan senam ini. Ia dokter keluarga yang dipercaya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) menjadi pelopor di wilayahnya sejak program ini masih diberi label 'percobaan'.

"Saya terpanggil karena program seperti BPJS ini sangat baik untuk memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Jadi begitu ada tawaran untuk mencoba, pilot project, kenapa tidak," paparnya. Paradigma kesehatan yang dibangun BPJS menempatkan layanan primer sebagai ujung tombak. Pelaku layanan primer adalah dokter keluarga dan puskesmas. Merekalah yang pertama kali memberikan bantuan kesehatan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan. Sebagai ujung tombak kepada mereka juga dititipkan beban yang kelihatan sepele yaitu melakukan upaya preventif dan promotif. Langsung turun ketengah masyarakat membawa pesan pentingnya menjaga kesehatan, mempromosikan gaya hidup sehat.

"Itulah sebabnya saya memberanikan diri untuk mendatangkan guru senam bersertifikat setiap pagi, berolah raga bersama sekaligus mempromosikan pentingnya kesehatan. Kegiatan ini juga menjadi penting karena saya bisa memantau kondisi pasien yang memang memerlukan penanganan jangka panjang seperti diabet dan lain-lain. Alhamdulillah kegiatan seperti ini membantu sekali, hampir semua pasien diabet berhasil mengendalikan kesehatannya," papar dokter Elis.

Peran dokter keluarga dan petugas medis lain di puskesmas memang sangat diharapkan BPJS. Beban yang dititipkan adalah sekitar 150an jenis penyakit harus dapat dituntaskan pada layanan primer ini. Keberhasilan mereka mempromosikan gaya hidup sehat, pentingnya menata lingkungan bersih dan sehat dipastikan akan menurunkan jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit. Jadi keberhasilan layanan primer bukan diukur dari meningkatnya jumlah pasien tetapi apabila angka kunjungan ke dokter, angka kesakitan menurun. Untuk mendukung kegiatan ini para dokter harus pintar-pintar menyiasati anggaran kapitasi yang dititipkan BPJS kepada mereka.

"Bekerja tanpa panggilan jiwa memang sulit. Kalau ada pasien yang seharusnya mengkonsumsi obat rutin tidak datang, kita harus meluangkan waktu membezuk ke rumahnya mencari tahu sudah waktunya ambil obat kok tidak datang, ada apa?" Dokter Elis mengaku bersyukur kakeknya pernah menanamkan prinsip yang sampai sekarang masih dipegangnya dengan teguh. Berartinya hidup adalah apabila kita bisa memberi manfaat kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan. Dengan semangat itu, ia berikhtiar mendirikan sebuah klinik yang setahap demi setahap fasilitasnya terus dilengkapi. Sekarang Klinik Qita sudah dilengkapi fasilitas sesuai standar BPJS, ada dokter umum, dokter gigi, apotek dan apotekernya serta fasilitas laboratorium dasar. Jumlah pasien terdata mengkuti BPJS sudah mencapai 4000 orang dari batas 10.000 yang ditetapkan BPJS.

“Angka kunjungan ke klinik masih sesuai standar tidak lebih dari 15 persen, angka rujukan juga tidak lebih dari 10 persen. Semua terekam dengan baik dengan sistem online yang diterapkan BPJS. Kriteria pasien rujukan juga jelas. Kalau pasien memaksa rujuk kita jelaskan kalau nanti di rumah sakit tidak dianggap memenuhi kriteria maka pasti akan dikembalikan juga,” jelasnya.

Program BPJS pada tahap awal ini menurutnya memang penuh tantangan, sebuah transisi yang mau tidak mau harus dilewati. Dari anggaran kapitasi yang diperolehnya, ia mengaku belum mampu menyisihkan gaji buat dirinya dan suaminya pensiunan PNS yang banyak membantu dibidang administrasi. Aplikasi pasien yang ingin mendaftar mengikuti program JSN-nya BPJS diselesaikan suaminya yang sebelumnya pejabat eselon di sebuah kementrian. "Ini adalah panggilan negara selanjutnya," begitu kata suaminya saat membawa setumpuk berkas pasien ke kantor BPJS.

Ia juga memberi apresiasi kepada tim medis yang telah mendukung kelancaran BPJS di kliniknya seperti dokter, apoteker dan petugas adminitarasi yang menurutnya masih belum memperoleh penghasilan yang memadai. "Saya bersyukur seluruh tim pernah mengikuti pelatihan ESQ-nya Pak Ari Ginanjar. Sedikit banyak kegiatan itu memotivasi kita untuk fokus berbuat dulu yang lainnya biar urusan Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah kita baik-baik saja," tuturnya kembali tersenyum. Secara berkala sejak menjadi proyek percontohan Tim BPJS selalu rutin berkunjung dan memberikan pendampingan. Sejauh ini sejumlah temuan lapangan menurutnya telah diserap oleh BPJS untuk perbaikan pelayanan. "Komitmen Tim BPJS juga cukup bagus, mereka berupaya profesional. Ketika pulang menunaikan ibadah haji saya dengan niat baik pernah mengirimkan sekotak kurma ke kantor BPJS. Tapi alhamdulillah dikembalikan, saya fikir itu upaya baik untuk tidak mendekati area grativikasi. Pesan ini menguatkan kita yang di lapangan, BPJS ini harus berhasil," tegasnya.

Hal menarik lain yang dicatatnya, kehadiran BPJS telah membangkitkan semangat gotong royong diantara warga. Sejumlah pihak yang mempunyai kemampuan tergerak untuk membayarkan iuran warga tidak mampu disekitar mereka yang selama ini belum tersentuh Jamkesmas atau layanan lain. "Bagi yang mampu membayarkan iuran satu tahun Rp.300ribu tidak akan memberatkan," tuturnya. Jadilah kemudian ada tukang ojek langganan keluarga, tukang sampah, office boy di-BPJSkan. Hasilnya kemudian memang muncul euforia pasien BPJS di puskesmas atau ke dokter keluarga. "Ada yang datang rombongan, bapak, ibu dan anak dengan keluhan batuk pilek, ya kita layani. Mungkin bagi mereka bisa irit tidak perlu beli obat di warung," katanya dengan nada bercanda.

Begitulah dinamika BPJS ditingkat paling dasar, layanan primer. Kegigihan mereka berkomunikasi langsung dengan masyarakat, mempromosikan pentingnya gaya hidup sehat, menentukan keberhasilan program yang merupakan amanat Undang-undang nomor 24 tentang BPJS yang  disahkan DPR tahun 2011 lalu. Sebuah terobosan mulia untuk memberikan layanan kesehatan paripurna bagi seluruh rakyat Indonesia. (ib)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline