Karya Semakin Bagus meski Rabun, Lukisannya Pernah Dibeli Presiden
Sumo Gambar setidaknya mempunyai dua kekurangan: Matanya yang rabun dan usianya yang kian renta. Tapi, kekurangan tersebut tak lantas membuatnya patah arang. Dia masih produktif berkarya di usianya yang sudah 73 tahun. Seperti apa?
Berbagai lukisan bergaya surealis terpajang di ruang studio Art Center Dewan Kesenian Malang (DKM). Di ruangan berukuran 4x4 meter tersebut, terlihat sosok laki-laki yang mayoritas rambutnya sudah beruban.
Wajah dan kulitnya sudah mengeriput. Tapi, hanya untuk memegang kuas, dia begitu kuat. Apalagi, darah seni melukis mengalir di hidup pria bernama Sumo Gambar itu. "Saya lebih suka melukis genre surealis dan yang berbau kritik-kritik sosial," ucapnya kemarin (19/12) sambil melukis. Memang, dari 12 lukisannya yang dipamerkan, rata-rata bertemakan kritik sosial. Entah itu kritik kepada pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari.
Sumo menyampaikan, sebenarnya dia menciptakan 21 lukisan selama berada di gedung yang beralamat di Jalan Majapahit No 3, Kauman, Klojen, itu. Tapi, 9 lukisan diletakkan di rumahnya dan sisanya dia pajang di ruangan studio tersebut.
Di balik 21 karya lukisan yang dibuat, pria yang kini berumur 73 tahun itu membuatnya dalam keadaan memiliki kekurangan pada penglihatannya. Ya, mata sebelah kanannya sudah tidak berfungsi lagi dan sebelah kirinya sudah mulai rabun sejak dua tahun lalu. Semua itu akibat penyakit katarak yang dia derita dalam beberapa tahun belakangan. "Sudah lama sih sebenarnya, tepatnya saya lupa kapan. Jadi, kalau mau tahu dengan jelas harus melihat dalam jarak 15 sentimeter, baru bisa," imbuh ayah empat anak dan sembilan cucu ini.
Meski hanya dengan mengandalkan penglihatannya yang tak normal itu, dia merasa tidak pernah kesulitan ketika menggambar. Lantaran, dia percaya semangat ketika melukislah yang menuntunnya untuk berkarya. "Kalau sulitnya ketika milih cat warna. Makanya, ketika mau ngelukis, saya ambil cat warna yang dibutuhkan. Selebihnya, saya letakkan di tempat lain agar tidak tercampur," ucapnya.
Meski memiliki kekurangan, dia sendiri tetap merasa bersyukur. Dengan begitu, dia mengaku tidak bisa melakukan maksiat mata lagi. Selain itu, dia mengaku jika sering disebut teman-temannya kalau lukisannya bertambah bagus. Berbeda saat masih penglihatannya normal. "Kata teman-teman sih begitu. Katanya lebih bagus," celetuknya.
Setelah menjelaskan di balik lukisannya, anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Zainuddin dan Sini itu menjelaskan, awal mula dia memilih berkecimpung di dunia melukis. Meski sejak dari kecil, jiwa seninya sudah muncul dengan memiliki hobi menggambar. "Kalau kecil dulu, di mana pun dan kapan pun saya menggambar," ucap bapak kelahiran 1945 itu.
Setelah menyelesaikan semua pendidikannya, dia melanjutkan untuk mengabdi pada negara dengan menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL). Selama 25 tahun atau pada 1974, dia kemudian memutuskan untuk pensiun dan mulai menggeluti pekerjaan lain. "Saat jadi TNI pun saya masih menggambar dan selalu bawa kertas saat bertugas," ujarnya.
Setelah pensiun, berbagai pekerjaan dia geluti. Baru kemudian pada 1985, salah satu temannya yang bernama Muhammad Amin Iskandar menemuinya. Teman sekaligus tetangganya itu merupakan kepala sekolah di sekolah dasar dan piawai menulis serta menggambar kaligrafi. "Dari pertemuan itulah, dia mengajak saya untuk menggambar hasil tulisannya itu. Dia yang menulis dan saya yang menggambar," jelasnya.
Sejak saat itu, temannya itu ternyata suka dengan hasil gambarnya. Lambat laun, dia juga mulai suka dengan dunia lukisan. Tapi, dia tidak mengikuti jejak temannya itu dalam dunia kaligrafi. "Kalau saya lebih kepada alam dan lain-lainnya. Intinya, bukan kaligrafi. Soalnya saya buta aksara Arab," ungkapnya.