Lihat ke Halaman Asli

Paceklik Kejujuran: Musim Hoax, Bully, dan Fitnah

Diperbarui: 26 Juli 2017   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

BEBERAPA waktu terakhir ini kita betul-betul dihadapkan dengan sebuah musim memilukan. Musim, dimana virus-virus media sosial berkecambah, dan sebaliknya, kejujuran mengalami paceklik. Pada musim ini, tiga tradisi setidaknya sudah menyebar dan menjadi virus bagi netizen di dunia maya, media sosial.

Namun virus ini berbeda. Ini virus spesial. Jika umumnya orang-orang tidak menyukai virus, tetapi khusus virus ini ada kalanya bukan hanya disukai, tetapi dirawat dan dijaga. Bahkan bagi orang maupun kelompok tertentu, virus ini diternak secara sembunyi-sembunyi. Tiga virus ini adalah hoax, bullying, dan fitnah.

Kenapa sampai mau repot-repot menternak dan mengembalanya? Karena ketiganya sarat dengan kepentingan.

Ya, kepentingan dan target kekuasaan jadi pemantik sekaligus motif utamanya. Sebenarnya, ketika seseorang memiliki target politik dan kekuasaan, it's oke. Nevermind. Itu merupakan hak setiap individu. Hanya saja ia jadi masalah ketika ditempuh secara ilegal, dengan cara kotor.

Arena 'pertarungan' virus-virus ini tak lain adalah media sosial. Di dunia maya inilah kebencian ditabur dan bully dilancarkan kepada lawan politik. Di situ pula hoax ditebar dan fitnah digoreng hingga sampai dianggap sebagai kebenaran. Maka imbasnya kepalsuan kian merajalela, kebohongan mengkudeta kejujuran, dan fitnah menyingkirkan kebenaran.

Sayangnya, sebagian kita tak terlalu sedih dan tak terlalu menghawatirkan semua itu. Sebab, ia sengaja dipiara, ia diternak, dan mereka merasa puas dengan itu. Betapa banyak kabar-kabar bohong dibiarkan terus beredar. Betapa besar info-info hoax diproduksi bahkan direproduksi. Bukan hanya oleh rakyat biasa, tetapi boleh jadi juga oleh penguasa. Bukankah tak sedikit orang-orang yang menuduh info-info kesejahteraan rakyat melalui data BPS seringkali dimanipulasi? Bukankah survei-survei kepuasan publik terhadap kinerja sebuah rezim juga disebut-sebut sebagai pesanan dan bisa dibeli? Maka, jika itu benar terjadi, kebohonganlah yang kemudian menjadi panglima.

Menjaga Medsos, Merawat Kemajuan

Kemajuan teknologi di era modern ini merupakan sebuah fenomena yang tak terelakkan dan tak terhindarkan lagi dari lini kehidupan umat manusia. Kemajuan ini berlangsung begitu cepat merasuk ke jantung setiap kita. Salah satu dari kemajuan ini adalah menjamurnya media sosial yang juga menandai berkembangnya dunia digital.

Kita tidak bisa membendung kemajuan ini. Maka, yang kemudian bisa kita lakukan adalah menerimanya secara positif-optimistis. Bila dalam laju perkembangannya ada dampak negatif, kita juga tidak serta merta menolaknya, termasuk ketika media sosial itu dirasuki virus-virus yang berbahaya bagi kehidupan kita. Namun juga tidak dibenarkan jika kita hanya membiarkan 'lalu lintas virus' itu. Kendati virus-virus itu sudah menjangkiti hampir semua jenis media sosial, mewabah, dan bahkan mentradisi, ia tak boleh kita biarkan terus terjadi.

Kita tidak bisa hanya meratapi, apalagi menyesali. Kita harus bangkit meninggalkan virus yang sudah menjadi tradisi ini. Di sinilah tugas kita adalah merawat kemajuan ini sekaligus mencarikan solusi sehingga virus-virus semacam ujaran kebencian dan penyebaran hoax, segera diakhiri. Bila ini dibiarkan, bangsa ini akan sulit maju, politik kita akan sulit bergerak ke arah perbaikan, dan demokrasi kita akan terancam. Kenapa? Karena yang berkuasa bukan lagi kebenaran tetapi kebohongan yang dibalut atau disulap hingga seolah seperti kebenaran. Demokrasi yang mengandalkan suara rakyat akhirnya dimanipulasi dengan menghadirkan "rakyat tanpa bayangan" alias rakyat di dunia maya. Betapa suara-suara sumbang, aneka ragam persepsi dibentuk lewat akun-akun palsu yang terus bergentayangan? Sejatinya merekalah pemain-pemain sekaligus sumber-sumber pencipta kebohongan di ruang publik.

Hoax, bully, dan fitnah tak punya jenis kelamin, dan tak punya suku. Siapapun bisa menjadi pelakunya. Jika merujuk ke arena Pilkada DKI beberapa waktu lalu, buzzer ini terbelah dengan sebutan "Ahoker" dan "Anti-Ahok". Tensi pembelahan ini terus menguat, bahkan meskipun Pilkada sudah berlalu. Musim bully, hoax, dan fitnah, ternyata belum juga berakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline