Lihat ke Halaman Asli

Ahok, Skenario Allah, dan Kekagetan Saya

Diperbarui: 13 Mei 2017   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Alhamdulillah, sujud syukur! Ahok 2 tahun”. “Alhamdulillah, saya akan langsung gundul”. “Takbir, Allahu Akbar!” Itulah kalimat-kalimat sesaat setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama.

Saya tak henti-hentinya tersenyum, tapi sekaligus terkaget-kaget membaca kalimat-kalimat itu di beberapa grup WhatsApp. Saya yang saat itu lagi ada meeting di Kementerian Agama, di Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, memang tak bisa mengikuti sidang pembacaan vonis Ahok melalui televisi. Karenanya, saya hampir tak henti untuk memelototin media sosial.

Bahkan beberapa poin pembicaraan dua kawan kami, Ratna dan Alvin yang saat itu berbincang dengan pegawai Kemenag, akhirnya luput dari perhatian saya. Tapi tak soal, karena kesimpulan akhir tetap saya ikuti, sehingga diketahui ujung persoalan yang kami diskusikan.

Kembali ke soal putusan Ahok, saya sungguh kaget. Kaget bukan karena putusannya yang tergolong ringan, untuk ukuran penistaan agama yang sangat meresahkan. Apalagi kasus penistaan agama selama ini banyak menyeret para pelakunya ke jeruji besi hingga empat tahun. Bagaimana misalnya baru-baru ini enam Pengurus Gafatar Aceh dianggap menyebarkan paham Millata Abraham, yang sudah dilarang dan dinyatakan sesat, sehingga divonis bersalah dan dihukum 3 dan 4 tahun penjara, atau ada pula Arswendo yang pada tahun 1990 divonis 5 tahun penjara lantaran terbukti menista agama dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan ke-11 dalam jajak pendapat yang ditampilkan di Tabloid Monitor, atau juga bagaimana Syamsuriati alias Lia Eden yang dihukum penjara 2 tahun 6 bulan dalam kasus yang sama. Saya kaget juga bukan karena banyaknya bunga dan balon yang dikirimkan relawan Ahok di luar pengadilan. Tapi saya kaget karena putusan hakim yang lebih besar dari tuntutan jaksa dan langsung ditahan.

Rasa kaget bertambah, karena alur skenario yang sebelum vonis sempat terlintas dalam benak saya terbantahkan. Saya sempat berpikir bahwa Ahok akan divonis bebas atau setidaknya sama dengan tuntutan jaksa, yakni vonis 1 tahun dan 2 tahun percobaan. Pikiran ini semakin diperkuat dengan adanya sebuah pesawat helikopter kepolisian yang diparkir di lapangan Kementerian Pertanian. Apalagi setelah membaca judul berita di media online Detik.com, “Helikopter Terparkir di Lapangan Kementan, Disiapkan untuk Escape”.  Pikiran saya, mungkin juga pikiran banyak khalayak: Nantinya vonis hakim apalagi sampai membebaskan Ahok akan membuat massa, terutama yang kontra Ahok marah, sehingga Ahok harus diselamatkan melalui helikopter untuk menghindari kemarahan. Ada pula yang berpikir, helikopter itu untuk para hakim jika mereka memvonis Ahok bebas.

Bahkan beberapa komentar di media sosial juga mulai pesimistis karena helikopter yang diparkir di dekat ruang persidangan itu. “Ah, sudah tahu nanti hasilnya”. “Untuk apa ada helikopter? hhmm”, dan seterusnya, yang sebagian menunjukkan nada pesimisme terhadap persidangan Ahok.

Tapi apa yang terjadi? Helikopter itu hampir tak berfungsi. Ia tak dipakai siapa-siapa. Ahok pun akhirnya tak naik helikopter atau mobil pribadinya. Ia ‘terpaksa’ naik mobil aparat menuju ke Lapas Cipinang, bukan ke kantor gubernur di Balai Kota DKI atau ke kediaman pribadinya di Perumahan Pantai Mutiara, Blok J No. 39, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.

Bagi saya, meskipun ringan, vonis itu sangat pantas dihargai. Hakim berdalih karena selain ada hal memberatkan dalam kasus Ahok, seperti tidak merasa bersalah dari perkataannya di Kepulauan Seribu, kasusnya juga menimbulkan keresahan dan perpecahan bangsa, juga ada hal yang meringankan. Di antaranya karena Ahok belum pernah dihukum sebelumnya, menunjukkan sikap sopan selama pengadilan berlangsung, dan kooperatif mengikuti proses hukum.

Bukan yang Pertama

Tentu, saat saya mencoba mereview sedari awal kasus penistaan agama oleh Ahok bergulir, ini bukanlah kekagetan yang saya yang pertama. Ini sudah merupakan yang ketiga. Pertama peristiwa pada 15 November 2016, atau sekitar 11 hari setelah Aksi Bela Islam 411, Polri setelah melakukan gelar perkara terbuka terbatas di Mabes Polri akhirnya menetapkan Ahok sebagai tersangka.

Meskipun penetapan ini setelah melalui desakan publik, tapi keberanian polisi menjadikan Ahok tersangka sangat layak diacungi dua jempol, terlebih jika dibanding dengan KPK yang tak mampu (atau mungkin tidak berani) menjadikan Ahok tersangka dalam banyak dugaan kasus korupsi meskipun sudah ada banyak hasil audit BPK yang menunjukkan kerugian negara. Wajar jika keberanian polisi ini pernah diumbar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kepada publik, sembari mengeluarkan nada menyindir KPK, saat hadir dalam Aksi 212, di Monas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline