Lihat ke Halaman Asli

Aku, HTI, dan Hari-hari di Kampusku

Diperbarui: 14 Mei 2017   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HIZBUT Tahrir Indonesia (HTI) mendadak populer. Organisasi besutan Syeikh Taqiyddin bin Ibrahim an-Nabhani ini dalam sepekan terakhir jadi perbincangan publik.

Tapi HTI diperbincangkan bukan karena gagasan-gagasannya yang ingin mendirikan khilafah. Bukan pula perjuangannya yang terus mengampanyekan penerapan syariat Islam. Bukan juga karena aksi-aksinya yang selalu rapi, jauh dari anarkisme. HTI jadi headline obyek pembicaraan karena pemerintah ingin membubarkannya.

Kenapa pemerintah membubarkan? Dalihnya, HTI anti-Pancasila, radikal, dan anti-NKRI. Alasan lain, HTI dianggap tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Ada juga dalih bahwa aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Benarkah tuduhan-tuduhan itu? Tidak tahu pasti. Saya hanya berharap pemerintah tidak sedang menciptakan opini sepihak yang sengaja dibuat untuk mengerdilkan ormas di Indonesia. Sebab, jika saya baca komentar Jubir HTI, Ismail Yusanto, pemerintah terkesan sangat terburu-buru. Mengingat, berdasarkan pengakuan Ismail, HTI belum pernah mendapatkan surat peringatan, dan juga belum diajak dialog oleh pemerintah mengenai ideologinya yang dianggap kontra Pancasila. Padahal jika mengacu pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, pada Pasal 61 harus ada Peringatan Tertulis terlebih dahulu.

Back to 12 Years Ago

HTI, organisasi yang tak asing dalam perjalanan hidupku. Dua belas tahun lalu, sekitar 2005, saat aku menempuh pendidikan strata satu di Universitas Madura, aku banyak berkenalan dengan orang-orang dari organisasi ini.

Orang-orangnya ramah, pakaiannya sopan. Yang pasti perempuannya tergolong jilbabers. Ikhwan, sapaan untuk yang kaum Adam, dan akhwat untuk kaum Hawa. Bicaranya santun. Jauh dari meledak-ledak.

Pikiran mereka juga terbuka. Meskipun cenderung menolak demokrasi yang dianggap produk Barat, tapi pikiran mereka mau menerima pemikiran dari luar alias inklusif. Mereka juga tak pernah mengecam perbedaan pendapat. Apalagi hingga mengkafirkan. Intinya, bergaul dengan mereka adem.

Di antara mereka, tak sedikit yang juga aktif di HMI, organisasi yang juga jadi tempatku berpetualang. Sebut saja nama-namanya ada Fatim, Jamiel, dan Busyana. Ada juga Olif dan Luluk. Seingatku, setelah mereka aktif di HTI, mereka tak mau 'boncengan' dengan laki-laki selain mahram. Salaman pun hanya bisa jarak jauh. Setiap kita hendak berpisah, kalimat salam selalu terlontar dari mulut mereka. Subhanallah, sebuah pengamalan Islam yang kaffah. Di kampus, mereka juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK)

Mereka kerap menggelar diskusi-diskusi terbatas. Mereka namakan diskusi itu halaqah. Ada juga yang menyebutnya tarbiyah. Aku tidak paham detilnya. Tapi aku pernah ikut kajiannya di bilangan Jalan Jokotole. Cukup Lumayan. Pendalaman Islam. Kajian Al-Quran, dan sekali lagi, tak ada bentuk atau paham radikalisme dari yang mereka tanamkam dalam kajian-kajian itu.

Biasanya, pemikiran HTI banyak tertuang dalam Buletin Al-Islam yang banyak disebar di masjid-masjid setiap Jumat. Sedangkan majalahnya adalah "Al-Waie". Saat itu, dosen pendidikan agama di kampusku sering membawa majalah yang banyak berisi tentang ajaran Islam kaffah yang berisi anjuran pengamalan Syariah Islam tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline