Lihat ke Halaman Asli

Kang Moenir

Berproses menjadi sesuatu

Story Behind The "Soto Lamongan"

Diperbarui: 16 Januari 2022   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Jika saya boleh berpendapat, Soto adalah salah satu makanan yang "universal" di Indonesia. Hampir di tiap kota yang pernah saya singgahi, selalu ada penjual Soto. Dari kaki lima, sampai hotel bintang lima, Soto setia hadir menemani setidaknya sarapan warga Nusantara.  

Menurut data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), ada sedikitnya 40 jenis Soto di Indonesia. Kalau yang saya tahu masih bisa dihitung jari; Soto ayam, soto sapi, Soto Kudus, Soto Kartosuro, Soto Boyolali, Soto Kudus, Soto Padang, soto Betawi, Soto Lamongan, Coto Makasar masuklah?.

Diantara 40 jenis Soto tersebut, salah satunya adalah Soto favorit saya, yaitu Soto Lamongan. 

Alasan yang pertama karena romantika. Saya pernah jualan Soto Lamongan, di pinggir jalan raya di depan sebuah kantor BUMN. Suatu hari, kami diusir oleh salah satu satpam, katanya diperintah pimpinan untuk mengosongkan area depan pagar kantor. Tapi ternyata, beberapa hari kemudian di lokasi itu  sudah ada pedagang yang baru. Bahkan lokasi itu sekarang cukup ramai pedagang kaki lima. Belakangan saya baru tahu kalau lokasi berjualan kaki lima itu bisa diperjual belikan, bahkan harganya bisa sampai belasan juta tergantung strategis tidaknya lokasi itu. Mungkin karena saat itu saya masih polos, untuk sekedar menempuh "jalan damai" dengan satpam tadi pun tidak kita ambil.

Akhirnya kita pindah jualan di Pasar, masih kaki lima dan lokasi itu sebenarnya adalah sebuah taman. Entah sejak pakan berubah menjadi lapak-lapak kaki lima dan tentunya tidak gratis. Saya pikir jualan di pasar akan lebih prospektif dan lebih kondusif. Ternyata, jualan di pasar juga tak mudah, harus pandai-pandai mengambil hati pedagang existing.  Sempat "dimusuhi" pedagang Mie Ayam asal Madura. Agak aneh memang, secara komoditas yang kita jual berbeda dan segmentasinya juga masih terbatas. Seingat saya, kami adalah yang pertama jualan Soto Lamongan di kota ini. Tidak terlalu ramai, karena ini memang menu yang masih asing saat itu. Karena lazimnya Soto yang banyak dijual disini adalah soto bening dan soto bersantan ala-ala Semarangan. 

Seiring waktu, usaha jual Soto Lamongan itu pelan-pelan akhirnya gulung tikar. Kalau tak salah ingat, semenjak sang koki yang bernama "Mbak Tun" pulang kampung ke Madiun untuk menikah. Ternyata, jadi pedagang itu tidak mudah. Butuh mental sekuat baja. Kalau pas ramai, harus punya stok kesabaran yang cukup karena di "susu-susu" pembeli. Kalau pas sepi, harus pandai-pandai mencari cara membunuh waktu. Apalagi zaman itu belum ada Hape.  

Karena alasan romantika ini, saya dan istri kerap kulineran Soto Lamongan yang kebetulan dijual di samping Masjid Agung Ungaran. Penjualnya asli Lamongan, Cak Pendi namanya.

Alasan yang kedua, kenapa Soto Lamongan ini jadi salah satu klangenan adalah karena Soto ini unik. Ciri khas Soto Lamongan adalah taburan Koyah, yakni bubuk yang terbuat dari campuran bawang goreng dan kerupuk udang. Tidak disebut Soto Lamongan jika tidak ada Koyah.

Ciri khas lainnya adalah pada isiannya terdapat rajangan kol dan irisan telor ayam. Para pedagang Soto Lamongan biasanya mendisplay daging ayam utuh di gerobaknya dibagian papan yang sengaja dibuat miring (coba searching foto gerobak Soto Lamongan di internet). 

Satu lagi, Soto Lamongan ini terbilang berisi. Sebab nasinya banyak dan isiannya yang lebih renes dibandingkan varian soto lainnya. Satu mangkok Soto Lamongan, menurut saya adalah menu makan siang yang pas. Selain "seger" juga "wareg".  

Tapi yang jelas, Soto Lamongan akan selalu mengingatkan saya pada masa-masa sulit yang pernah saya alami. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline