Lihat ke Halaman Asli

Natal dan Mayoritas yang Merasa Terancam

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi yang cerah. Matahari bergerak merangkak di sebelah timur. Pagi tadi saya berangkat lebih cepat dari biasanya ke kantor. Ada kegiatan kantor pagi-pagi. Sampai di kantor ku aktifkan ponselku. Aku coba membuka facebook barangkali ada info menarik. Tiba-tiba saya tertuju kepada seorang aktivis Islam. Di statusnya ia mempertanyakan sebuah stasiun TV di Jogja perihal pemberitaan TV tersebut terkait pengamanan natal di sebuah gereja di wilayah mBantul yang mencatut organisasinya. Ia begitu geram.

Aku mencoba googling. "Siapa tau ada informasi yang dimaksud" gumamku dalam hati. Yang ku temukan justru adalah judul berita di tribunnews "Kokam Semarang Siapkan 200 personil amankan Natal 2013". Segera ku copy link tersebut dan ku pasang di status facebookku. Sambil ku lontar sepotong pertanyaan nakal, "Jogja berapa kompi beroh yang siap amankan Natal"?.

Pertanyaan itu ku lontar tentu dengan maksud agar teman-teman membuka ruang diskusi tentang topik desember ini. Ada segelongan kecil memang umat yang masih sangat resisten terhadap eksistensi minoritas di republik ini. Mentalitasnya selalu merasa terancam. Padahal Islam kan mayoritas. Dan tidak perlu kasak kusuk begitu.

Apa yang diwartakan oleh tribun diatas sungguh sebuah oase di tengah situasi kebangsaan yang panas. Situasi yang selalu diliputi oleh rasa curiga. Oleh amarah dan keterancaman. Apalagi inisiatif itu tumbuh dari lingkungan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dua organ ke-Islaman yang menjadi garda terdepan dalam mengawal jatuh bangunnya republik.

Sebagai seorang yang Islam. Aku mengapresiasi inisiatif KOKAM Muhammadiyah itu. Meskipun pada tataran yang lain aku tidak setuju dengan kelompok-kelompok para militer ini. Karena sejatinya, ranah keamanan itu adalah ranahnya polisi. Sebagai sebuah sikap toleransi untuk saling melindungi sesama anak bangsa tidak apa-apalah. Indah sekali bukan! Janganlah selalu inisiatif-inisiatif demikian ditarik ke wilayah teologi. Karena akan panjang persoalannya dan tidak akan berakhir.

Aku lebih senang memandang Natal sebagai suatu dimensi kebudayaan ketimbang persoalan teologi an sich. Samalah dengan idul fitri yang nuasa budayanya sangat kental. Orang akan pulang ke kampung. Kembali ketempat asal. Bersilaturrahim. Saling memaafkan. Demikian halnya dengan Natal. Orang-orang kristiana yang jauh dari kampung biasanya pulang ke rumah. Bertemu dengan sanak keluarga dan merayakan natal dirumah.

Sikap ini yang sejatinya ditumbuhkan oleh anak-anak bangsa. Sebagai mayoritas, orang Islam jangan membangun mental terancam. Sehingga selalu menampilkan sikap yang tidak bersahabat. Sikap yang selalu curiga. Komunikasi dan silaturrahim harus senantiasa di kedepankan. Agar kebersamaan dan kekeluargaan sebagai bangsa besar tumbuh dan menjadi perekat bagi Indonesia yang lebih baik.

Selamat natal untuk teman-teman yang merayakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline