Lihat ke Halaman Asli

Sondang dan Kontradiksi Pokok

Diperbarui: 24 Mei 2020   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya, Sabtu (10/12) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Ia melakukan protes dengan jalan membakar diri terhadap rezim tuli yang berkuasa.

Tindakannya sudah diluar pakem aktivis demokrasi yang selama ini menggunakan pendekatan nir kekerasan. Protes ini jelas motif dan pesannya yaitu agar pemerintahan saat ini peka dan mendengar suara kaum tertindas.

Ada banyak yang meyangkan tindakan Sondang. Tapi itulah pilihannya. Ia sampai ke puncak kesadaran. Kesadaran atas berbagai sistem penindasan (kontradiksi pokok). Sebab tak mungkin orang melakukan bunuh diri kalau ideologinya masih setengah-setengah.

Sondang tidak hanya bunuh diri kelas, tetapi bunuh diri sesungguhnya sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim ini. Sondang berasal dari keluarga kelas menengah. Buktinya ia punya black berry (BB). Seperti halnya Marx, dan Tan Malaka yang menghabiskan waktunya bagi kelas tertindas. Walau pun kedua tokoh ini tidak melakukan bunuh diri. Tetapi mereka bertiga telah bunuh diri kelas.

Ia begitu militan. Melebihi militansinya Marx dan Tan Malaka. Dua tokoh sosialis beda generasi. Ini mirip dengan bom bunuh diri yang dilakukan ekstrimis kanan. Dan akan lahir dan berkembang tindakan-tindakan seperti ini jika saja sistem kehidupan berbangsa tidak beranjak berubah. Itu pesan yang paling pokok. Sebab mereka menuntut perubahan. Perubahan terhadap suatu kehidupan yang lebih baik. Perubahan atas jual beli hukum dan keadilan kepada hadirnya keadilan hakiki.

Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Selamat jalan Sondang Hutagalung. Anda telah mengajarkan betapa keberanian tak hanya bisa diutarakan lewat mulut. Tapi dibuktikan dengan tindakan nyata. Kita harus angkat topi atas keberaniannya. Keberanian yang tidak tumbuh secara spontan, tetapi melalui proses internalisasi dan penghayatan terhadap kontradiksi-kontradiksi yang mewujud dalam ketidak adilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline