Lihat ke Halaman Asli

Belajar Manajemen Pangan dari Semut

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pangan tetap menjadi masalah penting yang setiap saat bisa menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia. Salah satu diantaranya Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis dengan kekayaan sumberdaya hayati (flora dan fauna) yang melimpah, kondisi ini terasa sangat menohok. Sungguh suatu tamparan yang sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin negeri se-subur Indonesia bisa diancam busung lapar? Dan masuk diantara 35 negara yang terancam kelaparan serius.


Tahun 2011 dibuka dengan gejolak harga-harga pangan yang beranjak naik. Tak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali membuka ruang bagi bagi masuknya produk-produk pangan dari luar negeri. Ini dilakukan untuk menjaga stabilitas harga. Karena inflasi bergerak terus yang dipicu oleh naiknya beberapa komoditas pangan strategis.


Beberapa analisis menyebutkan bahwa penyebab masalah pangan ini dipicu oleh beberapa faktor seperti; (1) pergerakan jumlah penduduk yang tidak terkontrol, (2) penyusutan lahan yang disebabkan oleh alih fungsi, (3) pemamfaatan pangan (jagung) untuk peternakan, dan (4) perubahan iklim yang sangat drastis.


Guna menghadapi ancaman pangan serius ini, Pemerintah melalui Departemen Pertanian membentuk sebuah tim krisis senter yang terdiri dari Departemen Pertanian dan unsur-unsur civil society. Tim tersebut akan melakukan kajian dan pemetaan terkait dengan masalah-masalah pangan.


Dalam situasi seperti ini, nampaknya kita harus belajar banyak mengelola pangan nasional pada semut. Kenapa semut? Karena pada semut sesungguhnya tercermin bagaimana sebuah masyarakat dibangun. Ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil hikmahnya dari masyarakat semut ini. Katakanlah sistem sosial, komunikasi, dan tentu sistem pangan yang dikembangkan oleh serangga enam kaki ini.


Dalam catatan Harun Yahya, seorang intelektual muslim kelahiran Turki, semut bekerja secara sistematis dalam menyelesaikan masalah pangan. Semut pekerja tua ditugaskan sebagai penjelajah yang menyurvei tanah di sekitar sarang untuk mendapatkan sumber makanan bagi koloni yang populasi-nya mencapai ratusan ribu (bahkan terkadang jutaan). Ketika para pen-jelajah menemukan sumber makanan, mereka mengumpulkan teman-teman sesarang di sekitar makanan. Jumlah semut yang berkumpul bergantung pada besar dan kualitas sumber pangan ini. Semut menye-lesaikan masalah makanan dengan jaringan komunikasi yang sangat kuat dan juga dengan kemurahan hati mereka; semut tidak pernah berkata "Hanya aku".


Apa pelajaran penting dari bangsa semut diatas. Pertama, untuk menyelesaikan problem pangan harus dilakukan secara sistematik/terintegrasi. Semua pemangku kepentingan harus terlibat memikirkan rancang bangun pangan nasional. Momentum perubahan UU No. 07 Tahun 1996 tentang pangan harus direspon secara serius oleh masyarakat. Negara harus mengalokasikan anggaran progressif bagi pangan.


Kedua, masyarakat semut memiliki etos kerja yang sangat kuat. Tidak hanya etos kerja yang dimiliki, tetapi juga kebersamaan. Lihatlah bagaimana mereka bergotong royon mengangkat makananan yang besar secara bersama-sama. Satu iringan dan satu komando. Hierarki kebijakan pangan harus terimplementasi mulai dari pusat hingga daerah. Di titik ini, pemerintah pusat harus bisa memastikan bahwa rencana kebijakan pangan dapat terimplementasi dengan baik dan benar. Harus sinergi pusat, daerah dan masyarakat. Salah satu kelemahan kita (di Indonesia) adalah ego sektoral. Ini masalah klasik dan harus ditanggalkan jika bangsa ini mau berubah.


Ketiga, dalam suatu siklus tertentu musim dingin misalnya. Masyarakat semut ini sudah bekerja mengumpulkan cadangan makanan saat pertengahan musim panas. Demikian juga sebaliknya, menjelang musim panas, mereka sudah mulai mengumpulkan makanan pertengahan musim dingin. Siklus ini penting menjadi catatan buat kita. Mereka yang mendapat mandat (secara struktural) mengelola pangan di Indonesia harus mampu membaca tanda-tanda alam. Sebab secara kuantitas pangan, saya kira di Indonesia ini tidak kuranglah. Masalahnya kita tidak mampu mengelola sumberdaya pangan yang tersedia. Semoga.


Masmulyadi, peneliti Institute of Public Policy and Economic Studies (INSPECT) Yogyakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline