Lihat ke Halaman Asli

Pak Toba dan Obsesinya Membangun Kampung Hijau

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Perlahan tapi pasti, matahari bergerak terus kebarat. Cahaya matahari tidak lagi terasa. Dari atas motor, saya tidak lagi melihat entah dimana posisi matahari. Kumajaya terus saja (partner riset saya) melajukan motornya. Akhirnya sampai juga di Kecamatan Palbapang Sore itu. [caption id="attachment_262233" align="alignleft" width="300" caption="spanduk selamat datang di kampung hijau"][/caption] Karena baru pertama ke Dusun Serut jadi agak susah mencarinya. Hanya bermodal informasi dari Pak Pence, seorang aktivis lingkungan (daur ulang sampah) di daerah Magelang saat kami bertemu di acara jogongan media rakyat, di Jogja National Museum, bilangan Wirobrajan, Jogja. Informasinya pun tidak banyak. Hanya menyebut nama  pak Rohmat Tobadiana dan kampung hijaunya. "Kamu cari saja pak Toba. Danau Toba namanya" ujarnya singkat. Ya, cuman modal itu saja. Suasana langit yang seolah menutup singkapnya, menuju malam menyambut saya di dusun itu. "Biar tidak  salah kita tanya penduduk saja ya Kum" ajakku kepada Kuma. "Ok bro" jawabnya. Setelah dua kali bertanya akhirnya sampai juga dirumah pak Toba. [caption id="attachment_262239" align="alignright" width="300" caption="Pak Toba sedang menyiram pekarangan saat penulis temui untuk yang kedua kalinya"][/caption] Pintu rumah saya ketuk. "Kulonuwun Pak" ujar Kuma. Sejurus kemudian seorang perempuan keluar dari ruang tengah ke pintu. "Ada apa dek"? tanyanya. "Mau ketemu pak Toba, beliau ada" jawabku. "Oh iya, tunggu ya, dia lagi sholat maghrib" jawabnya kemudian sambil mempersilakan duduk di bangku teras rumah. Setelah pak Toba sholat dia pun menemui kami dan mengajak diskusi di joglo yang terletak kira-kira 10 meter dari rumahnya. "Bagaimana konsep kampung hijau dan kenapa itu yang terpikir di benak pak Toba" usikku dengan sebuah pertanyaan. Ia lalu bercerita mengenai kampung hijau. [caption id="attachment_262250" align="aligncenter" width="300" caption="joglo pertemuan atau pelatihan kelompok tani"][/caption]

"Begini pak Mul, kampung hijau  itu berangkat dari tiga filosopi yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Ekologi berkaitan dengan bagaimana masyarakat didusun ini mengelola sumberdaya yang ada berdasarkan prinsip-prinsip keharmonisan dan rahmatan lil alamin. Artinya didasarkan pada daya dukung lahan dan kondisi lingkungan. Singkat mungkin bisa disebut memperhatikan aspek lingkungan hidup. Kedua, sosial berkaitan dengan budaya dan masyarakat setempat. Ketiga, aspek ekonomi, ini berkaitan dengan dampak dari penerapan dua filosopi awal tadi. Artinya pelaksanaan prinsip-prinsip ekologi dan sosial ternyata memiliki implikasi positif bagi perekonomian warga dusun serut. Sehingga atas prinsip-prinsip itulah, maka kami menyebut kampung hijau, tidak ikut-ikutan dengan desa wisata" urai alumni jurusan sejarah Universitas PGRI Yogyakarta ini.

[caption id="attachment_262259" align="alignleft" width="300" caption="salah satu sudut kampung hijau"][/caption] Semuanya bermula tatkala gempa bumi memporak-porandakan Bantul tahun 2006 silam. Tapi pak Toba sudah merintis jalan ini sesungguhnya saat pertama kali ia diangkat menjadi kepala dusun. Tahun 2000-an, ia sudah mengajak warganya bertani dengan pendekatan organik, tapi masih susah merubah kultur bertani yang sudah mapan. Tapi sudah ada lumbung padi yang menjadi penyangga pangan ketika gempa terjadi. "Waktu itu saya masih kuliah, dilokasi KKN pak Mul, saya dipaksa oleh Lurah jadi kepala dusun lewat orang tua saya, ya akhirnya pasrah saja" papar pak Toba mengenang saat-saat ia memulai debutnya sebagai kepala dusun. Dari momentum gempa itulah masyarakat dusun Serut bangkit. Untuk menghibur masyarakatnya, pak Toba menginisiasi panen raya ditengah-tengah masyarakat yang masih susah dan masih memikirkan rumah, dan kerusakan-kerusakan fisik lainnya. Ia berhasil menghadirkan Bupati Bantul, HM Idhan Samawi untuk memanen padi yang dibudidayakan oleh warga Serut dan diliput oleh media massa secara luas. "Ketika gempa mas, saya teringat dengan Hirosima dan Nagasaki. Kebetulan saya kuliah dijurusan sejarah. Itu yang menjadi pemicu saya bersama-sama dengan masyarakat disini" tandasnya. [caption id="attachment_262263" align="alignright" width="300" caption="lumbung padi kampung hijau"][/caption] Untuk mensiasati tingginya biaya usahatani, pak Toba memotivasi warganya untuk beralih kepertanian organik. Alat-alat mesin pertanian disediakan oleh kelompok, jadi petani tidak perlu beli lagi. Cukup mereka menyewa dan kasnya untuk kelompok. Di Serut, kaum difabel (cacat) diberdayakan oleh pak Toba untuk memproduksi pupuk organik. Sementara kandang-kandang ternak yang umumnya dirumah, direlokasi menjadi terpadu dengan pengolahan kompos. Kini kampung hijau tumbuh menjadi kampung yang banyak dilirik oleh wisatawan, ilmuan, dan mereka yang mau belajar pengelolaan sampah, koperasi tani, pertanian organik dan berbagai kegiatan alternatif lainnya. Kampung ini dikunjungi rata-rata 100 orang dalam seminggu. Pengunjungnya dari seluruh Indonesia bahkan sudah kurang lebih 10 negara yang pernah magang pertanian organik di kampung hijau. Pemerintah pun mengapresiasi kampung ini dan menjadikannya sebagai pusat pelatihan pedesaan dan pertanian swadaya (P4S). [caption id="attachment_262266" align="aligncenter" width="300" caption="penulis berfoto di depan papan nama p4s "sidodadi""][/caption]

Pengunjung yang mau berwisata atau mau belajar pertanian organik tidak di pungut biaya, syaratnya mereka harus tinggal dirumah penduduk, bergaul, bersosialisasi, makan dan minum. Wisman atau mereka yang magang akan disuguhi dengan berbagai menu organik. Untuk sarapan harganya Rp. 5.000 dan untuk makan siang atau malam Rp. 15.000.

[caption id="attachment_262268" align="alignleft" width="300" caption="traktor kelompok tani yang disewakan ke anggota kelompok tani"][/caption] "Kami bersyukur, bahwa apa yang kami anjurkan beberapa tahun yang lampau, kini pelan-pelan masyarakat mulai menyadari setelah banyak sekali orang yang datang kesini. Obsesi saya ialah, kedepan menjadikan kampung ini betul-betul dikelilingi oleh pepohonan. Karena itu, setiap orang yang datang kesini wajib menanam pohon satu orang satu batang pohon" ujarnya. Ketok Tular Strategi Ketika saya tanya kenapa anda tidak memasang harga seperti halnya tempat-tempat yang lain, di bank sampah misalnya. "Cerita orang tentang kampung kami jauh lebih mahal mas dari pada harus memungut biaya. Yang lebih penting itu ketersambungan batin" ungkapnya. Lebih jauh ia menjelaskan, kalau orang datang lalu saya pungut biaya dia pulang sudah selesai. Karena kami sudah dibayar. Tetapi kalau mereka datang kita sambut baik-baik, disuguhi ala kadarnya mungkin akan berkesan. Paling tidak mereka akan menceritakan bahwa untuk belajar pertanian organik, pengolahan sampah, atau koperasi keluarga miskin tanpa harus banyak keluar uang, ya datanglah ke kampung hijau. Dalam ilmu pemasaran yang saya pelajari di UGM, pendekatan ketok tular ini disebut dengan word of mouth strategy alias mulut ke mulut. Dalam kasus kampung hijau, pendekatan ini terbilang sangat efektif dieksekusi oleh pak Toba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline