Lihat ke Halaman Asli

Muhibuddin Aifa

Wiraswasta

Aroma Kapitalis dalam Praktik Pendidikan

Diperbarui: 6 Agustus 2020   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto (bobo.grid.id)

Saya pernah kuliah di dua tempat, gelar Amd, Kep. Saya dapatkan dari salah satu universitas swasta tertua di Aceh. Sementara titel SKM dibelakang nama saya, kian mantap melekat setelah saya jalani ritual sumpah topi toga di Universitas swasta lainnya.

Namanya kuliah swasta, sudah tentu biayanya mahal. Katanya, tak dapat banyak subsidi dari pemerintah. Jadi setiap beban kampus tersebut mengharuskan saya dan kawan-kawan yang senasib lainnya untuk dijadikan langganan tetap dalam mengatasi biaya operasional pada tempat kami berkuliah hingga kuliah selesai.

Pada awal masa kuliah, pikiran saya biasa-biasa saja, tidak pernah kritis terhadap permasalahan dikampus. Bahkan kepada pemilik dan pengelola Perguruan Tinggi swasta, bagi saya mereka adalah pahlawan, karena jasanya dalam mencerdaskan bangsa.

Lambat laun seiring dengan terjadinya berbagai persoalan domestik kampus, dan kebetulan juga saya terpilih sebagai ketua senat (Badan Eksekutif Mahasiswa), pikiran saya tidak dapat dibendung lagi. Sudah mulai liar dan kian paham tentang mafia dunia pendidikan.

Ketika menjabat sebagai ketua BEM, sederet persoalan muncul ke permukaan. Dari berubah-rubahnya jadwal kuliah, hingga harus menyusaikan dengan kesibukan dosen. Kewalahan dari kawan-kawan dalam membayar SPP sehingga harus menunda ikut ujian. Fasilitas ruang kuliah yang kurang nyaman akibat tidak tersedianya AC, dll.

Menjadi ketua BEM itu sama saja seperti meniaturnya DPR yang harus siap untuk menampung berbagai persoalan masyarakat. Masyarakat saya ketika itu adalah mahasiswa yang mayoritasnya berasal dari kalangan menengah kebawah.

Rata-rata orangtua kami menaruh harapan yang besar pada anaknya saat kuliah, walau dalam keadaan yang sangat terbatas mereka berusaha keras, agar anaknya bisa kuliah. Membuka kran-kran usuha apa saja untuk membayar biaya kuliah anaknya. Ada yang bertani, peternak, kuli bangunan, setiap peluang yang ada semua digeluti karena dipikiran mereka, masa depan anaknya harus lebih baik dari orangtua.

Ketika saya kuliah, dua sahabat saya sampai harus mengambil non aktif kuliah karena terbatas biaya dari orangtuanya. Memilih bekerja sebagai volunteer di British Red Cross, palang merah asal Inggris yang melakukan program Lifelihood Support semacam pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat korban Tsunami di Aceh sekitar tahun 2005.

Untungnya mereka memperoleh gaji lebih dari enam juta Rupiah perbulan. Mereka dikontrak selama dua tahun. Setelah itu mereka menyelesaikan kuliahnya. Saya hampir tergiur kala itu, namun kekuatan janji moril saya kepada orangtua untuk memiliki selembar ijazah dalam waktu cepat, mengurungkan niat untuk bergabung dengan kedua sahabat saya.

Dosen Terbang
Kembali lagi kepersoalan belajar belajar dikampus. Saya melihat kampus tidak serius dalam mengakomodir kebutuhan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Mereka menempatkan komting di setiap angkatan untuk melakukan kontrak waktu perkulian dari dosen luar.

Di tempat saya kuliah hampir 70 persen dosennya berasal dari luar, alias dosen terbang. Kami membuat basscamp di bawah rindangnya pohon mahoni, depan ruang kelas untuk menunggu dosen. Kadang kala lebih satu jam, dan yang lebih buruk lagi dosennya membatalkan tugas ngajarnya dengan alasan ada tugas mendadak dari atasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline