Lihat ke Halaman Asli

Muhibuddin Aifa

Wiraswasta

Catatan Pilu di Rumah Sakit Jiwa

Diperbarui: 28 Juni 2020   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

rsjlawang.com

Setiap hari, aku harus melewati koridor–koridor panjang yang mempertemukan aku dengan ruangan tempatku bertugas di Rumah Sakit Jiwa Aceh. Hari ini, seperti biasanya aku melewati koridor tersebut dengan langkah santai, maklum baru pukul 07:45 WIB, jadi masih punya waktu sekitar 15 menit lagi untuk pergantian sif dinas. Kebetulan, hari ini aku dinas pagi.

Tadi, saat aku lewati koridor tersebut, kulihat seisi bangsal di sana semua menatapku dengan muka penuh daki, kuku hitam, rambut acak-acakan, gigi kuning, baju kotor, terkesan sangat sumbang kelihatannya. Begitulah lukisan sebuah dunia tempat di mana orang-orang sakit jiwa diobati.

Aku merasa berjalan di atas sebuah dunia yang beda, beda karena mereka tidak seperti kita, mereka mengalami gangguan jiwa, masa depan mereka telah dirampas oleh penyakit tersebut. 

Pernah aku mengkaji beberapa pasien gangguan jiwa di ruangan salah satu bangsal tingkatan kedua setelah ruang akut di tempat pengobatan orang sakit jiwa itu, Mawar. Masih segar dalam ingatanku pasien tersebut berinisial SF, dia salah satu dari sekian banyak pasien di sana.

Kutanyakan padanya tentang awal mulanya dia mengalami gangguan jiwa, karena menurutku dia sudah mulai menampakan perkembangan ketahap yang lebih baik, dengan gaya bicara yang sangat kooperatif dia mulai bercerita tentang kehidupannya sebelum dia terdampar di dibalik jeruji besi Rumah Sakit Jiwa. 

Seraya mempermainkan sebatang rokok bintang abadi, rokok yang biasa dikonsumsi oleh penderita gangguan jiwa, dia berkisah bahwa dulunya dia seorang perantauan, jalanan yang sunyi membawanya ke pusat ibukota Jakarta.

Di sana awalnya hidupnya biasa-biasa saja, tapi setelah dia punya penghasilan yang mapan, pergaulannya mulai tidak terkontrol lagi, hingga dia mulai mengembara ke dunia hitam.

Ekstasi, sabu-sabu, menjadi santapannya tiap hari, efeknya dia mengalami gangguan jiwa, dia melihat sesuatu hal yang sama sekali objeknya tidak ada. Dalam medis keadaan tersebut dikenal dengan (halusinasi Penglihatan), bagian dari gejala gangguan jiwa. Pembicaraanku dengan pasien SF membuatku membuka kembali catatan tua di Akper Abulyatama yang masih kusimpan rapi.

Dalam catatan tersebut dijelaskan, beberapa faktor yang mengakibatkan gangguan jiwa, pintu masuknya ada yang bermuara dari rasa frustasi, penggunaan obat penenang seperti, ekstasi dan shabu-shabu, gangguan jiwa juga bisa bersifat heredeter atau keturunan, riset kecilku hari ini membuktikan bahwa pernyataan dalam buku tersebut benar adanya.

Di hari yang berbeda, aku masih melalui koridor-koridor yang biasanya kulewati. Jalanku hari ini sedikit lebih cepat dari biasanya karena aku bangun kesiangan pagi ini, akhirya dengan langkah yang tergesa-gesa sampai juga di ruangan Mawar, kulihat di sekelilingku masih seperti biasanya, berbagai aktivitas yang tidak terarah terlihat di dalamnya, ada yang hanya mondar-mandir di ruangan, ada yang selalu shalat, dan ada juga mulutnya komat kamit terus tanpa bahasa yang jelas dan tidak jelas pembicaraannya selalu melonjat-lonjat dari satu topik ke topik yang lainnya dalam medis dikenal dengan flight of idea dan masih banyak perilaku abnormal lainnya semakin menambah goresan catatan pilu di Rumah Sakit Jiwa. 

 Di sudut yang lain, terdengar pasien-pasien di balik jeruji besi,berteriak “Toh peng siribe, rokok sibak, (Bagi Duetnya Seribu, Rokok Sebatang)” dengan nada penuh pinta dan memelas. Ingin rasanya aku melihat mereka bisa pulih dan kembali produktif di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline