Lihat ke Halaman Asli

Dari Kebencian yang Dibentuk hingga Kasih Sayang yang Terbentuk untuk Fatin Shidqia

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Respon terhadap suara Indy Ayu

Sama halnya seperti beberapa para tetua pegiat Fatinistic Kompasianer, saya sedang kehilangan ide untuk menulis tentang Fatin, idola dan sumber inspirasi dalam aktivitas saya,. Namun setelah mendapati petunjuk untuk bertemu dengan suara-suara seorang Indy Ayu, akhirnya saya mencoba kembali menulis yang secara khusus ditujukan kepada seorang Indy Ayu, terlepas dirinya seorang Fatinistic, Fatin Lovers atau Fatin Haters sekalipun. Sesungguhnya jika akhirnya tulisan ini jadi tayang di Kompasiana berarti ini tulisan kedua saya (sebelumnya http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/05/31/menyingkap-bias-gugatan-terhadap-fatin-shidqia-lubis-juara-x-factor-indonesia-560860.html) , seorang yang menyatakan dirinya anggota Fatinistic G+ yang sering jualan kopi di lapak dan masih terus belajar.

Judul tulisan ini saya pilih untuk menggambarkan sebuah proses perjalanan dan belajar yang tidak pernah usai. Dan suara-suara Indy Ayu sangat mewakili sebuah proses, ketika sebuah kebencian yang dibentuk menemukan kecintaan dan kasih sayang. Saya bukan ahli filsafat kehidupan, tapi muncul dalam benak saya, apakah untuk menemukan cinta dan kasih sayang sebenarnya kita harus jadi seorang pembenci diawalnya? Pertanyaan ini bisa jadi mengundang jawaban dengan ragam disiplin, berdasarkan pengalaman setiap orang. Tapi satu keyakinan saya, bahwa sesungguhnya kodrat manusia adalah insan yang melekat kasih sayang, dan kebencian yang ada merupakan suatu bentukan, atau bukan hal yang naluriah.

Membaca narasi-narasi seorang Indy Ayu juga menyiratkan, paling tidak bagi diri saya, terkadang bentuk kasih sayang kita terhadap seseorang membuat kita kehilangan sisi kemanusiaan, padahal “setiap orang bisa berbuat kesalahan, dan karena itu perlu selalu dibangun kritik (terbuka dengan ketulusan) antar sesama tanpa terkecuali seorang Fatin.” Menjadi seorang pecinta diperlukan kemampuan menemukan bahasa kritik, baik untuk orang yang kita sayangi maupun untuk diri kita sendiri.” Entah kenapa saya merasa iri dengan seorang Indy Ayu, karena secara akal sehat batin saya mengatakan seorang Indy Ayu berhasil membangun sebuah proses yang sangat manusiawi bagaimana mencintai seorang Fatin Shidqia.

Usulan Agenda Belajar Fatin dan Fatinistic

Saya setuju dengan jika ada komentar bahwa saat ini Fatin sedang berada zona “aman” sebagai seorang idola baru industri musik tanah air. Meski kemudian muncul kekhawatiran, ditengah kesibukannya sebagai seorang artis, kapan Fatin akan kembali ke akademi tarik-suara dan akademi kehidupan? Karena tantangan seorang Fatin semakin menganga lebar, dimana dirinya harus menempa suara khasnya agar spektrumnya makin luas. Di lini kehidupan, sama seperti suara-suara pengharapan, agar Fatin tetap bisa rendah hati dan apa adanya. Bagi saya, meski saya belum atau bahkan tidak akan pernah merasakan dunia popularitas artis, tapi ada suatu anggapan yang tidak tertulis bahwa dunia industri hiburan yang dipilih menuntut setiap orang menjadi “palsu” atas dasar logika pasar dengan keuntungan yang berlipat-lipat (smoga salah!!). Akan tetapi, saya bukanlah Fatin, dimana hanya orang “terpilih” bisa masuk di dunia industri hiburan dan Fatin secara sadar memilih masuk dengan segala tanggungjawab akan konsekuensi dalam kompetisi dunia industri. Tentu saja, tantangan Fatin lebih besar dari hanya seorang seperti diri saya, penjual kopi di lapak Fatinistic G+.

Ditengah hiruk-pikuk dunia selebritas industri hiburan, saya hanya ingin mengutarakan sebuah pengharapan kepada seorang Fatin, agar dirinya mampu membawa moralitas baru dalam dunia industri hiburan dan semangat perjuangan bersama Fatinistic dalam menyuarakan agenda belajar untuk kehidupan antar sesama. Dalam posisi ini, terlepas dari nuansa kehidupan industri musik tanah air, kehadiran Fatin dan Fatinistic telah menghadirkan sebuah janin gerakan moralitas baru bagi generasi anak muda di tanah air yang harus terbebani dengan persoalan-persoalan warisan masa lalu. Dan karenanya, membangun agenda belajar bersama di berbagai lini kehidupan tidak terpisahkan dari Fatinistic. Karena Fatinistic bukan hanya sekedar Fans, dan tidak cukup hanya sebgai keluarga, akan tetapi Fatinistic adalah sebuah gerakan dengan moralitas baru yang humanis serta selalu menyuarakan kepedulian sesama anak bangsa. Dan Fatinistic punya modal untuk itu yakni ketulusan...

Jabat Erat #ting

-my-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline