Muhammad Yusuf
Tulisan ini hadir dari seorang Fatinistic yang tidak terkenal, (dan ngarep di follbek sama dinda Fatin, kwkwkwkwk) yang masih belajar menulis buah-buah pikiran yang tergabung dalam sayap Fatinistic G+ sekaligus pengganti rasa rindu dari kebiasaan menggalang dukungan SMS sesama penggemar suara Fatin (Ketik FATIN, kirim ke 9288). Selain belajar menulis dan berharap-harap (cemas) di follback, tulisan ini hadir karena daya panggil dinda Fatin yang sangat besar. Ibarat buku, adinda seperti teks terbuka dimana setiap orang dengan latar belakang apapun terpanggil untuk membacanya berdasarkan pengalaman hidup masing-masing (she’s inclusive socially, but not her voice, very exclusive). Penulis sendiri bukanlah pakar teori musik, melainkan hanya seorang pegiat yang keluar-masuk kampung, yang seringkali sulit dapat sinyal, hingga ke wilayah konflik penggusuran akibat praktek kekuasaan yang korup. Ketahuilah dinda, bahwa setiap pelosok yang aku datangi untuk belajar, banyak anak seusia dirimu yang harus putus sekolah karena orang tua mereka sudah kehilangan sumber nafkah utamanya dari lahan tani. Semoga suaramu bisa menemani rekan-rekan seusiamu yang mencoba bertahan dan bangkit dari jatuh. Tulisan ini sendiri ditujukan secara khusus untuk menyingkap bias-bias gugatan terhadap kemenangan adinda Fatin Shidqia Lubis secara kritis (smoga saja)... hehehehhe
1. Lebih dari Hijab. Pasca kemenangan Fatin Shidqia, tak ayal gugatan atas kemenangannya dituduhkan pada Hijabnya. Terlalu sederhana jika prasangka itu menjadi ukuran tunggal semata. Menoleh kebelakang, saat pertama kali dirinya berhadapan para juri (AD, RS, BR, WL) dengan menyanyikan Grenade, secara seloroh AD menanyakan kurang lebih, “Grenade itu bahasa arabnya apa yah?” (lalu dijawab Fatin, “hmm ngak tahu”). Sentilan AD bukanlah pertanyaan netral bebas asumsi. Secara sederhana, pertanyaan (nakal) AD tentang apa bahasa Arab dari Grenade bertalian dengan Hijab Fatin, persepsi kebanyakan di benak pemirsa saat itu. Begitu pula sentilan (godaan) Maia ketika HJV yang secara humoris menyuruh Fatin untuk mengaji. Juga pada penilaian dua orang wartawan Perancis yang memberikan apresiasi mendalam kepada Fatin salahsatunya karena Hijab dinda. Namun bagi saya, penilaian wartawan Perancis itu bisa ditafsirkan secara kritis, pandangan banyak negara kolonial di eropa, bahwa “seseorang yang memakai Hijab tidak bisa menyanyi”. Padahal Hijab bukan berfungsi untuk menyebabkan sesorang tidak bisa berdendang di sebuah pentas. Fakta yang sulit ditolak, suara Fatin sangat GOKIL PECAH PARAH sejak awal penampilannya.
2. Warna Suara vs Teknik Vokal. Banyak pihak yang menggugat X Factor Indonesia karena kemenangan Fatin yang tidak pantas, atau seharusnya Novita Dewi yang menang karena kemampuan teknik bernyanyi yang sempurna. Bias yang hadir kemudian adalah “gagal paham” terhadap konteks X Factor. Jika X Factor disematkan hanya kepada kesempurnaan teknik maka sangat logis Novita Dewi menjadi pemenang mutlak mengalahkan seluruh kontestan. Karena itu sejak gala pertama X Factor sudah harus bubar dan sesegera mungkin menetapkan Novita sebagai pemenang. Atau jika ini hanya sekedar kontes bernyanyi saja, maka Novita seharusnya tidak terikutkan dalam ajang X Factor mengingat segudang pengalamannya dalam dunia kontes dan dunia rekaman (sebut penyanyi profesional). Ingat, ajang ini melibatkan grup girls dan boys (under 26th yang amatiran). Tapi ini bukan ajang kontes nyanyi belaka, maka sangat wajar Novita diberikan kesempatan terlibat, namun dengan peluang menang yang sama dengan kontestan lainnya. Jika ada gugatan terhadap Novita gara-gara statusnya yang sudah Profesional maka lagi-lagi itu diluar konteks atau bias (penulis sendiri sempat terjerumus secara emosional dalam pola pikir yang demikian akibat serangan haters kloningan yang membabi buta). Karena yang dicari maka X Factor, maka Novita harus diberikan ruang untuk menggali X Fator yang ada dalam dirinya (tanpa peduli dengan pengalamannya). Tidak terkecuali Fatin Shidqia, penyanyi kelas kamar mandi. Kembali kebelakang, ketika Fatin di babak audisi membawakan Grenade, penilaian banyak orang termasuk para juri jungkir balik melampui stigmatisasi anak SMA yang berhijab yang ijin dari sekolah (gara-gara guru olahraganya, kwkwkwkwwk). Singkatnya, (warna) suara Fatin PARAH habis, kripi kripi gituh deh. Seenak kentang goreng fooyyahhh rasa stoberi, hehehehhe
3. SMS vs Standing Ovation Juri. Bias lain yang hadir menyertai kemenangan Fatin Shidqia adalah gugatan metode penilaian melalui SMS. Lagi-lagi, jika X Factor hanya ditempatkan sebagai kontes (skil) bernyanyi maka metode penilaian sudah selayaknya diserahkan kepada para ahli (juri). Contoh yang baik adalah cara yang digunakan dalam kontes Master Chef yang sepenuhnya diserahkan pada juri (pakar). Tapi ini bukan Master Chef, dan bukan kontes nyanyi atau pemilihan bintang radio era 70an. Bagi saya sangat clear peran SMS secara penuh dalam menjaring pemenang saat sudah masuk babak 5 besar. Pertanyaan yang menganggu justru bagaimana menempatkan kontes Indonesian Idol? Apakah dirinya kontes nyanyi murni? Dalam prakteknya, Indonesian Idol menempuh metode SMS sejak awal gala, sementara juri hanya diberikan satu kali hak veto untuk menyelamatkan kontestan yang tersisih. Ingat kasus Kamasean yang sempat tereliminasi namun diselamatkan oleh veto juri. Namun gugatan terhadap SMS di Indonesian Idol sangat minim, ada apa? Bandingkan dengan X Factor yang sejak Gala pertama sudah melibatkan kompetensi juri untuk memberikan veto. Mana yang lebih fair? Jadi jika ada yang menggugat kualitas bernyanyi para kontestan dan kredibilitas metode X Factor maka itu salah alamat. Apalagi menuduh Fatin yang mampu memboyong puluhan juta SMS dari kantongnya sendiri. Itu tuduhan yang sangat kerdil.
4. Keberlanjutan: Warna Suara vs Penguasaan Instrumen Musik. Seorang pakar (pengamat sekaligus sejarawan??) musik Indonesia, bung BL mengatakan Fatin bisa bertahan jika dirinya terus mengasah kemampuanya menguasai jenis alat musik. Saya sangat yakin bahwa maksud bung BL lebih dari sekedar alat musik. Tapi saya ingin menafsirkan komentar bung BL, bahwa pengenalan dan atau penguasaan alat musik (pengenalan nada) menjadi sebuah arena bagi setiap penyanyi termasuk Fatin untuk mengasah visi musikalitasnya. Selain itu, hal yang sulit terbantahkan adalah warna vokal vokalis itu sendiri. Sejarah telah mengisahkan, beberapa vokalis legendaris adalah karena warna (kharisma) vokalnya. Warna vokal lebih mudah dikenali dan bertahan di telinga pemirsa. Bisa saja warna vokal menjadi tidak tampak, tapi musiknya menjadi fenomenal (yang ini banyak dilakoni aliran band atau musik disco dsb, yang mudah diingat adalah alunan musiknya). Dan yang tidak bisa dilupakan adalah keberadaan fans dan haters yang menyertai perjalanan karir seorang musisi (termasuk penyanyinya itu sendiri). Namun ini menjadi catatan kritis, kemana arah (transformasi) perkembangan industri musik tanah air? Apakah industri yang akan dibangun diatas alas CINTA (yang terbentuk) yang selalu disandingkan dengan BENCI (yang dibentuk)? Pertanyaan selanjutnya, apakah mungkin Fatin bertahan di industri (yang ntah mau dibentuk seperti apa) saat ini? Jawaban YA, karena masyarakat mudah mengenali kharisma suaranya selain metode penjaringan yang ditempuh berbasis kompetensi juri (sejak gala pertama) dan sms. Namun akan bertahan berapa lama? Itu susah dijawab, tapi yang pasti Fatin mudah diingat dalam lintasan sejarah musik Indonesia, paling tidak dua-tiga generasi berikutnya (1 generasi setara 25 tahun) dengan catatan Fatin dan Fatinistic memilih saling setia, bela rasa dan toleran serta terus belajar.
5. Refleksi. Kehadiran X Factor dan kemenangan Fatin Shidqia paling tidak saya mencoba merefleksikan untuk ajang kedepan, TIDAL CUKUP TEKNIK VOKAL, namun PERLU WARNA VOKAL (seperti Fatin, Dicky, dan Iin yang sejauh ini belum ketemu padanannya, atau mudah dikenali). Jika ikut aliran TEKNIK VOKAL, maka harus melewati Novita Dewi dulu. Jika menganut KREATIVITAS (VISI) bermusik, maka harus melewati SHENA terlebih dahulu. Dan jika menganut penguasaan ALAT MUSIK plus NYANYI, maka MIKHA menjadi rujukan. Jika ingin membentuk grup vokal, maka harus sekaya warna NUDI, bukan modal tampang ajahhh... Kemenangan Fatin bukan sekedar WARNA SUARA, atau SMS. Kehadiran FATIN telah membuka ruang dialog kritis, WARNA SUARA dan TEKNIK VOKAL, SELATAN dan UTARA, TUA dan MUDA, KAMAR MANDI dan CAFE, GAYUNG dan MIC EMAS, BAKAT ALAM dan DISIPLIN, CINTA (yang terbentuk) dan BENCI (yang dibentuk), KESEDERHANAAN dan KEANGKUHAN, KEPOLOSAN dan CARMUK, KHILAF dan SEMPURNA, IKHLAS dan PAMRIH.
Akhirnya, aku hanya ingin menyampaikan masukan kepada adinda FATIN sebagai Fatinistic, pasti dirimu begitu pun Fatinistic akan menghadapi masa-masa yang lebih sulit kedepannya. Tapi aku percaya, doa Orang Tua, Ibadahmu dan mentalitas Karatedo sabuk hitam dibalut kecantikan perempuan akan mengiringi langkahmu. Jangan pernah berhenti yakin (dan berbagi keluh kesah), bahwa selalu ada orang-orang yang sayang sama Fatin yang telah menularkan pengalaman, mulai dari Bunda Ocha (tenang Fatin, kita memenangkan ini, dan itu terbukti dik), Mas Dhani (Ahmad Dhani suka suara kamu, dan mas AD mendukungmu hingga akhir gala), Om Bebi (suara kamu harus ada setiap 100 tahun sekali, karena itu kamu harus bertahan dik), Mba Anggun (kamu lahir dengan itu atau tidak lahir dengan itu, karena itu jangan lupa selalu bersyukur), Kak Indra (Fatin sejauh ini Progress!!, karena itu tetap berlatih dik), Kak Irvan, Kak Ningrum (lupakan yang tadi dan liat kedepan, karena itu perlu relax sambil meneguk teh hangat sesekali dik dibelakang panggung), para Kontestan dan yang terakhir adalah Fatinistic (bukan Fans tapi Keluarga) dan lebih khusus untuk rakyat INDONESIA. Berdendanglah selalu buat anak bangsa dan bukan untuk kampanye parpol apapun. Pastinya, kami Fatisnistic hadir dengan semangat mengawal album (karya) baru mu dengan membeli versi asli (bukan bajakan) bagi yang berlebih, dan tentu saja saya sangat rela membaginya dengan rekan-rekan yang kurang beruntung namun sayang sama Fatin. (Ure voice’ve united us to become a human-being and share to each other). Fatin jangan pernah berhenti belajar dan nikmatilah gairah muda mu yang penuh tanggungjawab, karena kami pun Fatinistic juga akan terus belajar bertindak bersama. You Never Walk Alone my sist. FATIN SHIDQIA LUBIS. Selamat datang generasi baru musik Indonesia.
Mhn maaf jika ada kekurangan sana-sini (masih pemula dan amatir)
@Cupi_Malabar (pegiat kampung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H