Lihat ke Halaman Asli

Pulanglah Nak! Sebelum Gelap Menjadi Terang

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pak Sastro memperhatikan anak putrinya yang sebentar lagi genap berumur 20 tahun. Ia sedih, mengapa anaknya tak pernah menuruti kemauannya. Berbagai cara sudah pernah ia lakukan agar anaknya tidak melakukan pekerjaannya lagi. Dia masih percaya pada anak putrinya yang ia beri nama Sartini kalau suatu saat nanti dia akan menjadi anak yang baik.

“Nduk .. nduk nduk .. awakmu mbok tobat! Jangan lagi jadi biduan orkesan” kata Pak Sastro ke Sartini.

“ Pa’e, aku hidup dari manggung. Uangnya kan ya juga buat Pa’e” jawab Sartini sambil melenggang keluar rumah.

Kini, tinggal Pak Sastro duduk sendiri di kamar itu. Masih saja ia tak terima jika anaknya terus-terusan manggung dari satu pentas orkes ke pentas yang lainnya. Tampaknya semangat untuk menasihati anaknya belum habis. Kemudian, Ide cemerlangpun kembali datang menghampiri kepala Pak Sastro. ‘Sepertinya aku harus mengalihkan konsentrasi Sartini ke ketrampilan lain biar dia ga nyanyi lagi’ ucapnya dalam hati.

***

Keesokan sorenya setelah menghubungi teman-temannya yang punya lembaga ketrampilan menjahit, melukis, dan ketrampilan lain, Pak Sastro kembali menemui Sartini. Ia ketuk pintu kamar Sartini.

“Nduk Tini, ntar habis maghrib ikut pa’e ya! Kita jalan-jalan” ajak Pak Sastro.

“Inggih Pa’, ini Sartini lagi berias. Biar tambah ayu …” jawab Sartini singkat.

“Yo wes, ntar pa’e tunggu di depan yo!” ucap Pak Sastro sambil keluar rumah untuk menunggu Sartini.

Mendengar jawaban tadi, Pak Sastro senang bukan kepalang. Setidaknya ada secercah harapan untuk membelokkan minat Sartini dari menjadi biduan ke ketrampilan lainnya. Dia duduk di dipan depan rumah setelah menunaikan sholat maghrib.

Tapi … menit demi menit berlalu. Dia kembali masuk rumah untuk menengok Sartini di kamar. Kosong. Tak ada Sartini di kamarnya. Pintu belakang terbuka. ‘Mungkin dia ke belakang dulu,’ coba Pak Sastro menenangkan dirinya.

Pak Sastropun kembali ke depan rumah dan duduk lagi. Menit terus berlalu tanpa mempedulikan orang yang sedang menunggui anaknya itu. Begitu juga orang-orang yang lalu lalang lewat depan rumahnya. Tampaknya Pak Sastro melihat segerombolan laki-laki yang sedang mabuk. Bicara mereka ngelantur.

“ Cuk, sekarang ini Sartini lagi manggung di kampong sebelah. Ayo kita goyang kesana!” ajak salah satu laki-laki di gerombolan itu.

“Ayo, mumpung artise Sartini. Manteeep … Hahahaha” sambut laki-laki yang lain dengan semangat tapi matanya kabur.

Pak Sastro yang secara tidak sengaja mendengar perbincangan orang-orang itu, kembali menelan pil kecewa. Dia putus asa setelah usahanya untuk menasihati anaknya selama ini gagal. Dia berdoa semoga anak Sartini nanti tidak seperti ibunya.

“Sartini … Sartini … pulanglah nak, sebelum gelap menjadi terang!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline