Lihat ke Halaman Asli

Debat Harga BBM? Capek deh!

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu belakangan ini kita kembali disuguhkan perdebatan soal kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Ada keinginan (lama) dari Pemerintah untuk kembali melakukan rasionalisasi beban APBN guna mengurangi subsidi melalui  kenaikan harga BBM. Keinginan Pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi jenis premium tentu saja mendapat reaksi dari pelbagai kalangan. Jelas, dalam perdebatan publik, reaksi yang muncul sangat dominan dari kalangan politisi. Baik yang memposisikan diri sebagai “koalisi” maupun oleh kelompok “oposisi”. Jika kita telisik lebih jauh, argumentasi yang disampaikan oleh kalangan politisi ini, tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan yang disampaikan beberapa dekade belakangan ini yang berkaitan dengan isu kenaikan harga BBM. Tidak ada argumentasi yang baru yang disampaikan, baik oleh kalangan yang menolak maupun yang mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Semua argumentasi masih saja berkutat pada tema harga RON 88 di pasar dunia, subsidi yang tepat sasaran, penderitaan rakyat, melonjaknya harga bahan pokok akibat kenaikan harga BBM. Saya ingat salah satu komentar yang menurut saya perlu kita renungkan dalam menyikapi perdebatan soal BBM ini. “kita teriak-teriak menolak kenaikan harga BBM, tetap saja BBM harganya naik” demikian diungkapan oleh Tjahjo Kumolo (Sekjen PDI Perjuangan) dalam sebuah kesempatan.

Apa yang disampaikan oleh Tjahjo Kumolo tersebut, bisa kita maknai, bahwa isu kenaikan harga BBM bersubsidi  jenis premium hanyalah sebagai sebuah panggung yang digunakan oleh politisi dalam upaya menaikan popularitas, baik popularitas pribadi maupun kelompok (Partai). Lebih menggelitik lagi adalah ketika salah satu Partai yang tergabung dalam “koalisi” secara terang-terangan menolak kenaikan harga BBM, dan kebetulan beberapa petinggi Partai ini sedang dirundung masalah skandal impor daging sapi. Perdebatan yang mengemuka diruang publik adalah, etika koalisi sampai masalah upaya mendongkrak popularitas Partai yang terjun bebas sebagai dampak skandal import daging sapi. Pada sisi yang berbeda, Partai yang diketuai oleh Presiden SBY juga menurut saya sedang mencoba meraup simpati publik melalui program BLSM yang akan diberikan pada masyarakat yang kena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Anehnya, program BLSM selalu disampaikan ketika menjelang Pemilu. Kita semua menyadari bahwa tahun 2013-2014 adalah tahun politik. Apalagi Partai ini juga masih dirundung masalah skandal korupsi wisma Atlet dan Hambalang. Ketua Umum kedua partai ini sekarang telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Sementara Partai-partai “koalisi’ lainnya mencoba mengambil keuntungan dengan “pecah kongsi” kedua Partai ini dalam menyikapi kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Lihat saja, media massa hanya dipenuhi oleh perdebatan (jika tidak mau disebut saling serang) antara keduanya. Argumentasinya sama yaitu menambah beban penderitaan rakyat dan yang satunya berargumentasi subsidi tepat sasaran. Yang satu bicara berkoalisi dengan SBY bukan dengan PD, sedangkan PD minta mereka keluar dari Kabinet. PD selalu menyerang dengan isu etika dalam “berkoalisi” sementara PKS berkilah demi kepentingan rakyat. Argumentasi ini juga yang selalu dikemukakan oleh mereka ketika ada kenaikan harga BBM beberapa waktu yang lalu. Atau ketika ada rencana angket Skandal Bank Century dan Angket Pajak. Tetapi muara dari perdebatan atau saling serang ini akhirnya hilang begitu saja tanpa ada kejelasan hasilnya, baik secara politik maupun kepentingan rakyat. Lihat saja, harga BBM tetap naik dan PKS tetap dalam kabinet.

Saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Alm H. Taufik Kiemas “sistem demokrasi pancasila itu tidak mengenal koalisi atau oposisi, tetapi perjuangan politik berdasarkan konstitusi, ideologi kebangsaan bukan bukan berdasarkan koalisi atau oposisi”. Sehingga PDI Perjuangan yang selama ini diberi “label” sebagai oposisi tidaklah demikian adanya. Jika kita dalami sikap politik PDI Perjuangan, misalnya dalam penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium, PDI Perjuangan tidak menolak secara membabi buta. Ketua Umum PDI Perjuangan Hj. Megawati Soekarnoputri dalam seminar Kemandirian dan Kedaulatan energi Nasional, menyampaikan bahwa pengelolaan sumber-sumber energi nasional perlu dibenahi terutama minyak dan gas. Pembenahan ini dimulai dari produksi, sistem distribusi dan tentu saja meninjau ulang pemberian konsesi ladang-ladang minyak dan gas yang dikuasai oleh asing. Beberapa pokok pikiran dalam membenahi pengelolaan energi nasional berulang kali disampaikan oleh PDI Perjuangan. Tentu saja, pokok-pokok pikiran tersebut didasari oleh amanah konstitusi. Secara gambling Ibu Hj. Megawati menyampaikan dominasi asing dalam penguasaan sumber-sumber energi terutama minyak dan gas. Beliau menyampaikan perlu pembenahan hal tersebut dengan segera, sehingga nanti akan diketahui berapa besar sesungguhnya potensi dan produksi nasional kita dalam rangka memenuhi kebutuhan BBM nasional. Dengan lugas disampaikan, masalah BBM itu bukan soal menolak atau menerima kenaikan harga BBM bersubsidi, tetapi bagaimana kita harus berbenah agar Indonesia memiliki kedaulatan dalam bidang energi. Sayangnya, pokok-pokok pikiran pembenahan pengelolaan energi nasional tersebut tidak terpublikasi pada masyarakat. Atau memang media massa lebih senang menampilkan sisi kontroversial dalam pemberitaan kenaikan harga BBM, sehingga sikap penolakan PDI Perjuangan dalam tataran pragmatis lebih dikedepankan daripada pokok-pokok pikiran pembenahan pengelolaan energi nasional. Kita perlu memberikan kritik pada media massa, karena isu kenaikan harga BBM lebih mengemuka sisi kontroversi pemberitaan, padahal media massa juga memiliki fungsi sebagai media pendidikan. Jika melihat apa yang disampaikan PDI Perjuangan dalam menyikapi rencana kenaikan harga BBM, maka saya setuju dengan apa yang diungkapkan alm. Taufik Kiemas, bahwa tidak ada oposisi, tetapi yang ada adalah kekuatan politik penyeimbang.

Rencana kenaikan harga BBM yang telah disampaikan oleh pemerintah, mestinya bukan lagi kita berbedat masalah harga, tetapi bagaimana seluruh komponen bangsa ini bersatu untuk merumuskan pengelolaan energi nasional yang mandiri, sehingga kita memiliki kedaulatan dalam bidang energi. Perlu sikap kenegarawan dari semua komponen bangsa. Jauhkan kepentingan politik individu dan kelompok, bekerjalah sesuai konstitusi dan Pancasila. Jika tidak, kita hanya akan membuang-buang tenaga dan pikiran setiap saat berdebat dan saling serang karena kenaikan harga BBM. Polemik ini sudah berlangsung lama, tentu kita tidak mau dikatakan bangsa keledai, jika masalah-masalah yang kita hadapi berulang sepanjang masa tanpa ada penyelesaian yang genuine dan cerdas. Saya berkeyakinan bahwa jika ada rumusan yang jelas dalam pengelolaan energi nasional, maka kita tidak akan berkubang dalam perdebatan harga, tetapi bagaimana energi tersebut tersedia dengan cukup dan mensejahterakan rakyat. Logika harga mahal atau murah itu berbanding lurus dengan daya beli masyarakatnya. Jika daya beli tinggi maka semua harga apapun tidak ada yang mahal. Jika demikian, mulailah duduk bersama dengan didasari Pancasila dan konstitusi merumuskan kembali kemandirian energi, menuju kedaulatan energi nasional. Lupakan popularitas, elektabilitas, lupakan label koalisi atau oposisi karena itu semua tidak ada. Politik itu berteman, kata Taufik Kiemas pada kesempatan yang lain. Wallhualam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline