Lihat ke Halaman Asli

Pekerjaan Rumah Jokowi

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terpilihnya Joko Widodo yang biasa disapa Jokowi melalui Pemilu Presiden yang berlangsung 9 Juli lalu mendapat respon positif dari pelbagai kalangan. Lihat saja, Paska keputusan Makamah Konstitusi, nilai tukar rupiah menguat 0,32% ke Rp11.656 per dolar AS, demikian pula saat perdagangan dibuka IHSG naik sebesar 0,19% ke 5.215,83. Respon positif pasar terhadap terpilihnya Jokowi tentu menjadi sinyal yang baik bagi pemerintahan yang akan disusun oleh Jokowi-JK. Respon positif pasar ini harus dijadikan modal bagi pemerintahan Jokowi untuk menata ekonomi Indonesia yang baik.

Banyak kalangan menilai bahwa Perekonomian Indonesia masih terus bertumbuh. Misalnya tahun 2013-2014 yang merupakan tahun politik yang biasanya penuh dengan ketidakpastiaan, tetapi ekonomi Indonesia terus menggeliat meskipun ketidakpastian ekonomi global masih belum menentu.

Geliat ekonomi Indonesia yang terus bergerak ini di juga diamini oleh Menteri Keuangan Chatib Basri dan memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5,6 persen pada tahun 2015. Agar bisa mencapai pertumbuhan tersebut, maka pemerintahan Jokowi perlu mengelola fiskal yang baik dengan menyelesaikan beberapa permasalahan utama yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Masalah yang bisa menghambat perekonomian Indonesia, antara lain;

Pertama, Beban utang luar negeri yang sangat tinggi mencapai lebih dari Rp. 2.000 triliun. Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Juni 2014 tercatat mengalami peningkatan USD 8,6 Miliar atau naik 3,1 persen. Dengan demikian pada akhir Juni, total Utang Luar Negeri tercatat USD 284,9 miliar atau setara Rp. 3.133,90 triliun. Kenaikan Utang Luar Negeri ini dipicu oleh meningkatnya kepemilikan nonresident atas surat utang yang diterbitkan baik oleh swasta sebesar USD4,2 miliar, dan sektor publik sebesar USD1,2 miliar, serta pinjaman luar negeri sektor swasta sebesar USD1,6 miliar yang melampaui turunnya pinjaman luar negeri sektor publik sebesar USD0,8 miliar.

Kenaikan utang luar negeri ini, tentu saja berpengaruh pada rasio utang luar negeri pada product domestic bruto (PDB). Pada triwulan pertama 2014 32,33 persen, menjadi 33,86 persen pada bulan Juni 2014. Sementara itu, debt service ratio (DSR), yaitu rasio total pembayaran pokok dan bunga Utang luar negeri relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan meningkat dari 46,42 persen pada triwulan sebelumnya mernjadi 48,28 persen pada Juni 2014. Kondisi utang luar negeri Indonesia ini tentu perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintahan Jokowi. Perlu strategi pengelolaan yang lebih baik agar rasio utang luar negeri Indonesia semakin membaik, sehingga tidak menjadi hambatan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kedua, anggaran subsisdi Bakar Minyak (BBM) yang digelontorkan oleh pemerintah mencapai Rp. 300 triliun. Tentu saja angka ini sangat membebani pemerintah. Kebijakan BBM subsidi selama ini merupakan masalah yang dilematis. Pada satu sisi, APBN terbebani dengan angka subsidi, namun pada saat yang bersamaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan Indonesia masih buruk. Pengalihan angka subsidi BBM, misalnya untuk pembangunan infrastruktur, akan menjadi komiditas politik dalam rangka menyerang pemerintahan. Jokowi harus mengambil kebijakan untuk menyelesaikan problem klasik BBM ini. Jika tidak, maka defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) akan terus meningkat, karena lemahnya kebijakan energi yang mengakibatkan importasi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat, sementara produksi minyak nasional terus mengalami penurunan.  Reformasi pengelolaan energi nasional harus menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK. Apalagi defisit neraca transaksi berjalan juga diperparah oleh struktur industri yang rapuh, carut marut usaha hulu dan intermedied tidak berkembang, jasa angkutan juga melemah.


Ketiga, tingginya impor pangan. Salah satu visi dari Jokowi-JK membangun kedaulatan pangan nasional. Saat ini ada 29 komiditas pangan yang di import oleh Indonesia. Padahal komoditas tersebut bisa di produksi oleh petani Indonesia. Lihat saja, nilai import beras USD 226,4 juta atau setara 432,8 juta kilogram. Demkian juga dengan nilai impor jagung mencapai USD 822,35 juta setara 2,8 miliar kilogram, import kedelai USD 1 miliar setara 1,62 miliar kilogram. Perlu program akselerasi dari pemerintahan Jokowi di bidang pertanian. Peningkatan teknologi pertanian yang bisa diakses oleh petani, rehabitasi lahan, pengelolaan hasil pertanian. Pembangunan Indonesia perlu terintegrasi dengan penyediaan infrastruktur dan pendidikan. Sehingga petani-petani Indonesia bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas produk pertanian. Sehingga secara perlahan kita menggurangi import bahan pangan. Tentu saja, kebijakan ini akan ditentang oleh pengusaha dan importitr yang selama ini menikmati melimpahnya kran impor yang dibuka oleh pemerintah. Yang terpenting adalah  produk petani Indonesia bisa menjamin kehidupan yang layak bagi petani Indonesia, sehingga profesi petani akan menjadi cita-cita generasi muda yang akan datang.

Keempat, Kesenjangan antar penduduk dan kesenjangan antar daerah. Jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin semakin dalam. Bayangkan saya, misalnya paling miskin ada di Banten sementara yang terkaya ada di Menteng, pdahal jarak antara keduanya tidaklah jauh. Program pengentasan kemiskinan tentu saja harus disusun secara komprehensif, tidak bisa lagi pemerintah hanya menjadikan program pengentasan kemiskinan hanya dijadikan jargon-jargon politik. Jokowi memiliki modal social dan pengalaman untuk mengentasan kemiskinan. Beberapa kebijakan Jokowi di Solo dan Jakarta tentu bisa dijadikan rujukan dan disempurnakan dalam kerangka yang lebih luas. Pengembangan pendidikan baik formal maupun informal perlu segera diimplementasikan. Metodelogi pendidikan dan proses belajar mengajar yang baik tentu saja akan menghasilkan kualitas yang pula. Selain itu perlu kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk masyarakat miskin Indonesia, misalnya dalam permodalan, akses informasi, teknologi dan akses pasar, baik pasar komoditas, keungan dan dunia kerja. Sementara untuk mengatasi kesenjangan antar daerah, maka program pembangunan infrastruktur sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ide “Tol Laut” perlu segera direalisasikan oleh Jokowi-JK. Pembangunan infrastruktur bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan swasta nasional, dunia industry dan oleh pemerintah sendiri. Jika infrastruktur dipelbagai daerah tersebut baik, dapat dipastikan investasi akan mengalir dan tersebar di pelbagai daerah, tidak hanya terpusat di pulau jawa seperti selama ini.

Penyelesaian masalah-masalah utama ini diperlukan keseriusan dan sistematis. Pemerintah Jokowi-JK bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan dukungan cabinet yang professional, memiliki kompetensi dan kemampuan mengurai permasalahan. Pada level yang lebih bawah tentu saja reformasi birokrasi harus secara terus menerus dilakukan, sehingga pemerintahan Jokowi-JK bisa menjadi pemerintahan rakyat. Wallahu’alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline